Langsung ke konten utama

Meja Resepsionis Hitam.

 


   Hotel Mulia, tepat pukul tiga di tengah bisingnya Ibukota Jakarta. Aku berdiri dengan cemas, meremas jahitan rok merahku berkali-kali. Sudah hampir tiga bulan ini, pekerjaanku sebagai komisaris berubah menjadi intelijen yang pandai menganalisis. Selalu berharap analisisku selama seperempat tahun ini salah, atau keliru, sayangnya semua harapan itu hilang tak berarah. Sebatas harapan palsu, tanpa ada kepastian yang nyata. 

    Hotel berbintang ini tidak jauh beda dari hotel lainnya. Yang membuat hotel ini beda adalah keindahan meja hitam tepat di depan pintu masuk. Aku menghampiri meja itu tentu bukan karena keindahannya. Namun, karena meja ini menjadi saksi, suamiku menggesekkan kartu kreditnya di mesin itu. Terletak tepat di atas meja. Resepsionis nampak tersenyum ramah kepadaku, ia seperti langsung bisa mengenaliku. 

"Selamat Malam Bu, Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menoleh, tanpa sadar aku sudah melamun hampir setengah jam menatapi mesin kartu itu.

"Malam mas, saya mau tanya boleh?"

"Boleh, silahkan bu..."

"Apakah ada pengunjung hotel bernama Ditto Adyatama menginap disini?" Resepsionis itu terbungkam. Ia sempat terlihat gelisah. Namun, senyumannya tak hilang mungkin takut salah kaprah.

"Mas?" tanyaku lagi, memandangnya dengan heran.

"Mohon maaf bu, Ibu ini siapanya Pak Ditto?" tanya ia dengan sopan.

"Saya istrinya," singkatku. Resepsionis itu terlihat semakin gelisah. Ia pun memanggil temannya, kemudian berkata kepadaku.

"Sebentar ya bu," ujarnya dengan sopan, kujawab dengan anggukkan. Lelaki itu pergi, berbisik kepada temannya sembari menunjukku. Jelas terlihat di depan mataku, sembari mereka menunjuk-nunjuk ke arah majalah yang terpajang di atas meja. Aku tersenyum kecut, raut wajahku mulai kusut.

"Mas, saya ini disuruh nungguin kamu gosip dulu apa bagaimana?" tanyaku tegas. Lelaki itu berlari lagi ke depan meja resepsionis.

"M-m..mohon maaf Bu, saya kira saya salah lihat tadi."

Aku menghela nafas, "Jadi bagaimana? Suami saya betul menginap disini?" Lelaki itu tertegun. Ia terdiam sembari mengalihkan pandangan ke arah restoran hotel, nafasku seakan terhenti ketika melihat setelan abu-abu. Tak asing di ingatanku. Setelan itu adalah hadiah ulang tahun untuk Ditto, ketika ia lulus S2 di Amsterdam. Aku terkekeh, menoleh kembali ke arah pria tadi.

"M-M..Maaf bu.." Ujarnya pelan, tersenyum pahit ke arahnya.

"Kamu takut saya bikin keributan?"

"Bukan begitu Bu, Saya hanya tidak percaya, suami Ibu bisa mengkhianati Ibu yang secantik itu." jelasnya, teman-temannya mulai terlihat menguping pembicaraan kami. Di tengah-tengah bisingnya suara rintikan hujan, serta balapan liar kebut-kebutan.

"Saya, tidak akan membuat keributan dan mempermalukan diri saya sendiri tentunya. Oleh karena itu, jika kalian tidak ingin hotel ini dipermalukan juga, Bisakah kalian membantu saya?" Permintaanku hanya dijawab anggukan, manajer hotel pun keluar. 

Bodoh sekali kamu Ditto, bodoh. Tapi, lebih bodoh lagi aku. Bodoh sekali mengeluarkan hampir sepuluh juta hanya untuk menyewa sebuah ruangan demi keributan. Aku berjalan pelan, kakiku sedikit bergetar. Kusuruh asistenku menunggu di luar ruangan itu.

'KREKKK'

Suara pintu terbuka mulai terdengar, tampak lelaki di resepsionis tadi datang. Aku berbisik,

"Dia tidak tahu ada saya kan?" tanyaku pelan. Ia hanya menggeleng.

Ditto masuk ke ruangan dengan wajah ambisiusnya. Ia terlihat begitu senang, namun terkejut ketika melihat ruangan sebesar ini hanya terisi seorang. Ia mulaiterlihat heran, berdiri di samping perempuan muda biasa yang memakai gaun pendek selutut. Dengan makeup yang lumayan tebal. Aku berdiri, membalikkan badanku seraya tersenyum. Gelas berisi wine yang kupegang sedari tadi sukses melayang ke pintu ruangan. Perempuan itu terkejut setengah mati. Tentu saja ia tahu aku, siapa yang tidak mengenalku?

Wajah Ditto seketika muram. Tawanya berubah menjadi kecemasan. Ia melangkah pelan, memandang wajahku dengan pelan.

"Cantika?" tanya ia memastikan. Aku membuang nafas, tertawa kecut kemudian.

"Kenapa? Kaget ngeliat aku tiba-tiba bisa terbang ke Jakarta padahal baru satu jam yang lalu aku terlihat di Amsterdam?" ketusku dengan nada menekan.

"N-..ng..nggak gitu, kaget aja kok kamu bisa ada di ruangan kosong ini sendirian," ujar Ditto dengan gagap. Ya, gagaplah! Bagaimana tidak, istrinya jelas-jelas bisa melihatnya melakukan apa saja di Jakarta. Teropong sudut Jakarta mana yang tidak kupunya? Bodoh betul suamiku yang kupercaya sebagai cinta sejatiku satu-satunya itu.

"Kamu, siapa? Ngapain gandeng tangan suami saya?" seruku sembari melepaskan genggaman menjijikan tangan perempuan itu. 

Perempuan itu terkekeh, melihat sinis ke arahku. "Haduh mba cantik, harusnya mba yang sadar kenapa suami mba bisa selingkuh begini sama saya, ya karena mba tidak cukup memenuhi kehidupan nafsunya," 

PLAK!

Perkataan perempuan itu sukses membuat aku melayangkan tamparan keras hingga ia meringis kesakitan.

"Tahu apa kamu soal kehidupan pernikahan? TAHU APA? APA YANG KAMU TAHU SAMPAI KAMU BISA BERBICARA SEPERTI ITU KEPADA SAYA?" suaraku mulai mengeras, untung saja aku memesan ruangan kedap suara, bahkan resepsionis tadi sampai mematikan cctv ruangan ini. Agar, tidak ada satupun yang tahu soal tragedi disini.

Ditto hanya terdiam. Diam. Ia sama sekali tidak bersuara selain mengeluarkan air mata.

"Saya memang tidak tahu apa-apa! Tapi, bukankah seharusnya mba ini merelakan saja suami mba buat saya? Toh, dia sudah berkhianat pula. Tidak akan diterima lagi bukan di keluargamu yang terhormat itu?!" balas perempuan itu. 

"Hei! Kau pikir aku begini karena diriku sendiri yang tersakiti wanita tolol? Bodoh sekali, kamu tidak pernah diajari Ibumu apa bagaimana sih? Aku begini, bertahan begini karena aku sudah melalaikan tugasku sebagai Istri. Tidak sepenuhnya salah Ditto, namun bukan berarti Ditto sepenuhnya kuampuni. Tidak ada ampunan untuk pengkhianatan, apalagi di dalam Pernikahan! Namun, di dalam pernikahan itu ada kewajiban yakni saling mengisi kosongnya kehidupan tiap pasangan, bukan hanya sekedar resmi saling memiliki. Tapi tetap, banyak jutaan kewajiban masing-masing tiap pasangan yang terlupakan. Karena apa bisa terlupakan? YA KARENA PEREMPUAN PENGGODA SEPERTIMU INI JALANG!" teriakanku sukses membuat langkah perempuan itu mundur, ia menangis keras. Kupanggil resepsionis tadi. Ditto hanya diam, ia diam tidak berani mengatakan apapun. Ia masih terduduk diam.

"Mas Ditto...tolong aku mas, kan kamu janji kan kit-..." Aku dengan cepat mendorong perempuan itu keluar dari ruangan, mereka bertanya kemana mereka harus membawa wanita itu. Aku menjawab 'PENJARAKAN SAJA KALAU KALIAN BISA!`

Aku membuang nafas, mencoba melangkah meskipun berat sekali langkahku, berjalan mendekati Ditto yang terduduk sembari memandangi sepatu putihnya nan kotor akibat cairan wine yang kulempar tadi.

"Ayo pulang, Aldo udah nelfonin kita dari tadi, nyariin papanya dari kemarin gak pulang-pulang.' tegasku sembari menarik jas Ditto yang masih terbungkam sedari tadi. Ia pun berdiri lantas berkata,

"Can...M-maa.." 

"Nanti aja drama-dramanya di rumah. Aku laper." tegasku.

"Kenapa gak bilang aja kalau kamu mau hal itu terus suruh aku pulang dari Amsterdam? Mau jam berapa pun itu aku akan terbang kesini To," tegasku lagi.

"Kenapa kamu gak marah?"

"Aku marah To, buktinya aku lempar gelas tadi." 

"Kamu sibuk banget aku gak berani ganggu,"

"Gak berani karena aku sibuk atau kamu yang sibuk sendiri  Ditto Adyatama?" tanyaku sambil menyebutkan nama lengkapnya. Ia hanya bungkam, terdiam tanpa jawaban.

"Sekarang salah siapa? Dosa besar ini jadi terjadi karena siapa?"

"Aku."

"Ya sudah, ayo pulang. Aku kelaparan."

Tangisan Ditto semakin keras saat kami melewati meja resepsionis hitam, ia bahkan sampai terjongkok karena tak kuat menahan tangisnya. Malam itu pukul setengah empat lewat lima belas menit. Balapan liar tadi mulai hening, terdengar bacaan-bacaan ketika subuh menjelang. Aku ikut jongkok disamping Ditto yang masih menangis keras.

"To, aku begini bukan karena aku masih mencintaimu. Perasaanku sudah hilang setelah melihatmu di restoran memakai setelan abu-abu setengah jam yang lalu. Aku bertahan karena kewajibanku sebagai Istri harus aku jalankan, bukan karena perasaan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Kebaktian Usai.

Bartos menutup kafe, merogoh saku mencari kunci sepedanya. Berjalan keluar dari pintu kaca, disambut oleh hangatnya matahari sore. Marienna melintas tepat di depannya saat ia hendak berjalan menuju parkiran sepeda. Menghentikan langkah saat wangi parfum Marienna tercium dari kejauhan. Bartos menoleh ke arah sudut taman kota, Marienna sedang berjalan seraya tersenyum ke arahnya. Mengenakan baju terusan selutut jingga. Menggenggam tas jinjing kecil yang biasanya hanya berisi dompet kecil dan ponselnya. "Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda. "Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna. "Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba. "Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya. "Aku pergi duluan, salam untuk paman."

Hi,

  “Fi! Cepetan dong gue udah telat nih!” Rafi sibuk mengikat tali sepatunya, langkahnya terhenti di basement dekat parkiran motor. “Makanya kan gue udah bilang, lo tuh gausah banyak gaya, sepatu sekolah aja dipakein tali segala!” “Kan emang peraturannya gitu da,” Hilda merengut, menghentak-hentakkan kakinya pertanda kesal terhadap Rafi. “Udah deh cepetan Fi! Lo tuh lemot banget sih jadi cowok!” Hilda berjalan mendahului Rafi yang masih sibuk mengikat tali sepatunya. Mengejar Hilda kemudian setelah sepatunya terikat dengan aman. Rafi merampas helm dari tangan Hilda, memakaikan helm itu ke kepala perempuan yang tingginya tak begitu jauh darinya. “Fi! Gue bukan anak kecil, udah cepetan!” Rafi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda kesal. Seorang introvert yang tidak pernah marah sekalipun pada Hilda. Yang ia lakukan hanya menuruti apapun yang Hilda katakan dan inginkan. Rafi bisa berjalan sejauh apapun demi menghampiri Hilda yang tersesat di jalanan. “Udah? Ayo,

[ENG] Rain and Grey.

It was raining. I am drowning in the time past, happening, looking, and searching for something that I didn't even know about anything. Spread into the darkness, growing like happiness, end it with sadness. I don't know. It's just so many things I had to tell about her, but I can't. Can't even look into her eyes, cause I'm too nervous. But also curious, who is she? And why does she follow me like a ghost, she appears around me. Anywhere, everywhere. Or, does it just memories that I can't tell? "Hey, can I have some Americano, please," Damn. She's here. "Oh, sure." My hands were shaking, my heart was beating, I cannot even stop that beat. What is wrong with me? We're not Rangga and Cinta who are trapped in complicated love. We're just strangers, which we didn't know each other. "One Americano, anything else to order miss?" "Just call me N," "Can I?" "You should." "Why?" &quo