Langsung ke konten utama

[ENG] Rain and Grey.





It was raining. I am drowning in the time past, happening, looking, and searching for something that I didn't even know about anything. Spread into the darkness, growing like happiness, end it with sadness. I don't know. It's just so many things I had to tell about her, but I can't. Can't even look into her eyes, cause I'm too nervous. But also curious, who is she? And why does she follow me like a ghost, she appears around me. Anywhere, everywhere. Or, does it just memories that I can't tell?

"Hey, can I have some Americano, please,"
Damn. She's here.

"Oh, sure."
My hands were shaking, my heart was beating, I cannot even stop that beat. What is wrong with me? We're not Rangga and Cinta who are trapped in complicated love. We're just strangers, which we didn't know each other.

"One Americano, anything else to order miss?"

"Just call me N,"

"Can I?"

"You should."

"Why?"

"Because you should stop staring at me, you should start a conversation with me. Not just being nervous around me, or shaking your hands while you're close to me."

Okay, I died.

"Are you okay?"

No, I am not. 

"I don't even know you, how could I start a conversation while other people are staring at you too?"

"That's it, you are the only person who has a chance to talk with me. Then, why you didn't do that?"

I muted myself. She is right, and now she smiled. Oh my god, that smile is killing me slowly. I've got to get out of this situation.

"Well, seems like I should give my card so your face would stop changing to red."

She wears grey, sounds of the rain. She gives her card to me, I see her hand full of rings. A lot of bohemian rings I guess. Her hands look cold, I really want to hold them. 

"I am older than you by the way if you can't ask. I just wanna say that,"

"I know, that's why I can't even talk to you."

"You should try anything, not just staring at something. But you have to try even though you know you might fail. But, at least you've tried."

Her words stopped my breath, her smile from her mouth counting me to death. God, I love her. Even though she wears black every day, or grey while in the rain. Her hands, holding Norwegian Wood by Murakami. But, does love always felt the same way as I felt today? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SWEETBITTER / Prolog

  "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence," Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat. "Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya. "Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker. "Ditunda lagi?" "Hmmm..." "Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?" "Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal.  "Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu." "Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di...

Selamat Ulang Tahun, Mantan.

  Selamat ulang tahun untukmu mantan Sepotong masa lalu yang enggan dijadikan kenangan Secercah harapan yang lupus karena hati yang tulus Sebuah kotak berisi tawa dan tangisan Beserta dengan memori akan kepedihan Dilengkapi dengan ingatan yang pupus Tahun lalu masih dapat terucapkan Tahun lalunya lagi juga masih dapat kuungkapkan Namun sekarang, setelah ingatan itu hangus Setelah kamu pergi, terlupakan semua ucapan Beserta kenangan tawa, canda hingga kepedihan Tiada lagi harapan dan kenangan  Mereka telah pupus akibat hati nan tulus Selamat ulang tahun mantan Semoga hidupmu terisi dengan manisnya kenangan Tidak lagi penuh dengan harapan yang pupus.

Meja Resepsionis Hitam.

     Hotel Mulia, tepat pukul tiga di tengah bisingnya Ibukota Jakarta. Aku berdiri dengan cemas, meremas jahitan rok merahku berkali-kali. Sudah hampir tiga bulan ini, pekerjaanku sebagai komisaris berubah menjadi intelijen yang pandai menganalisis. Selalu berharap analisisku selama seperempat tahun ini salah, atau keliru, sayangnya semua harapan itu hilang tak berarah. Sebatas harapan palsu, tanpa ada kepastian yang nyata.      Hotel berbintang ini tidak jauh beda dari hotel lainnya. Yang membuat hotel ini beda adalah keindahan meja hitam tepat di depan pintu masuk. Aku menghampiri meja itu tentu bukan karena keindahannya. Namun, karena meja ini menjadi saksi, suamiku menggesekkan kartu kreditnya di mesin itu. Terletak tepat di atas meja. Resepsionis nampak tersenyum ramah kepadaku, ia seperti langsung bisa mengenaliku.  "Selamat Malam Bu, Ada yang bisa saya bantu?" Aku menoleh, tanpa sadar aku sudah melamun hampir setengah jam menatapi mesin kartu i...