Langsung ke konten utama

Melepas hingga bebas.

 


Sastro bersandar di belakang pintu kamarnya. Kemeja hitam masih ia pakai dengan rapi. Rambutnya acak-acakan hampir seirama dengan berbagai macam buku di kamarnya yang kacau balau. Sastro meremas lagi kepalanya. Menonjok berkali-kali kaca yang berlumuran darah di bilik kamarnya. Tangisan sudah tak lagi asing ia lihat di wajahnya. Terpampang wajah manis wanita di kacanya. Wajah Seira yang akan selalu dirindukannya. Ia terisak kembali. Sudah berpuluh kali Ibunya mengetuk pintu kamar Sastro memanggilnya untuk keluar. Sastro masih enggan bersuara, air mata masih terus mengalir di matanya. Jatuh tanpa bertanya apakah Sastru pernah rapuh. Sastro sudah tidak berdaya lagi. Ia mengusap air matanya pelan, duduk di atas ranjang. Pikirannya melayang seakan Seira berada di sampingnya berkata "Hei bujang, kau terlihat jelek kalau menangis begini." Suara menyebalkan Seira akan selalu terdengar di telinganya. Suara Seira yang selalu menyuruhnya untuk berhenti merokok ataupun mabuk di tengah hari. Sastro tersenyum selepas bayangan Seira ada di benaknya. Selalu percaya Seira tidak pernah pergi, ia masih berada disini meski tidak menunjukkan diri.

"Tro, temenmu udah pada nunggu itu ndok," Suara bergetar Ibunya terdengar kembali untuk puluhan kalinya.

Sastro bangun dari duduknya, bercermin sembari mengelap air mata. Sastro mengenakan peci untuk pertama kalinya meskipun Seira sudah berpuluh kali menyuruhnya untuk memakai peci sebelum ia pergi. Sastro berjalan lemah lunglai keluar dari kamarnya. Beberapa teman-temannya sudah duduk lesehan mengelilingi jasad Seira yang terbujur kaku. Wajah manis Seira tetap terlihat meskipun jiwa, raga hingga nyawanya telah tiada. Sastro duduk di samping kanan jasad Seira mencium kening Seira seraya menahan isak tangisnya.

"Tro, kamu aja yang pimpin yasinannya." pinta teman Sastro, Alfi. Sastro hanya menganggukkan kepalanya, tak lama kemudian lafadz ayat suci keluar dari mulutnya. Wajah teman-teman Sastro begitu tidak percaya. untuk pertama kalinya mereka melihat Sastro yang berbeda. betul-betul berbeda. Mereka pun ikut mengiringi suara Sastro yang membacakan lantunan ayat dengan sangat indah. Tanpa Sastro sadari, air mata kembali jatuh di atas ayat suci. Suara Sastro terhenti sebentar, mengambil nafas berusaha untuk melanjutkan. Sastro pun lanjut membacakan ayat. Selesai ia dan para pelayat membacakan ayat, mereka pun bersiap untuk pergi ke pemakaman. Sastro terduduk di bangku teras, ia betul-betul tidak sadar dan tahu siapa saja yang sudah berkata, "Sabar ya Sas, neng Seira teh orang baik jadi pasti masuk surga," atau beberapa teman yang jua berkata guna menenangkan jiwanya, "Sabar Tro, namanya juga hidup."

Sastro betul-betul tidak perduli dan mengindahi semua yang mereka katakan. Bagi Sastro, tidak berguna mau sesabar apapun ia, takkan membuat Seira kembali berada di sisinya. Sastro hany tersenyum sekali dua kali untuk para pelayat yang datang. Ia tak banyak bicara dan bercanda seperti biasanya. Matanya hanya tertuju pada pandangan kosong. Hatinya kosong melompong, tangannya dingin namun berkeringat akibat teriknya matahari di hari itu. Sastro terus berusaha untuk menahan airmatanya jatuh kembali. Teman-temannya datang, menawarkan air putih dan rokok. Tapi, Sastro menolak mentah-mentah rokok yang mereka tawarkan. Hal itu malah semakin membuatnya rindu Seira. Seakan-akan Seira berada di sampingnya berkata, "Bujang kalo nggak mau dengerin aku, mendingan kita musuhan aja," suara cempreng Seira seperti menghantui pikiran Sastro.

"Tro, jangan bengong mulu nanti lo kesambet cuk," teguran dari Fariz teman Sastro membuat pandangan Sastro teralih.

"Dia bukan bengong atuh Riz, dia teh lagi sedig. Meni geleuh sia." timpal Nia pada Fariz.

Sastro hanya tersenyum kecil sontak berkata, "Seira masuk surga nggak ya Ni?" tanya Sastro dengan wajah polosnya.

Nia hanya tersenyum sambil berkata, "Lihat, yang datang ke pemakaman Seira aja teh banyak banget. Bahkan ada beberapa karangan bunga buat Seira yang bukan siapa-siapa sebenernya. Seira itu orang baik Tro, Tuhan nggak mungkin ingkar,"

Sastro menundukkan kepalanya, dalam hatinya berkata. "Ra, kenapa harus kamu duluan sih yang pergi?"

Mobil jenazah yang ditunggu mereka telah tiba. Sastro mengangkat kepalanya, bergegas masuk guna mengangkat keranda Seira. Saat ia mengangkat jasad Seira berempat dengan adik dan sepupu Seira, tangannya gemetar. Mereka sempat berhenti di depan pagar karena tangan Sastro yang gemetar.

"Lai indak ba'a da?"

("gapapa bang?")

Sastro menoleh ke arah sepupu Seira yang bertanya dengan bahasa minang. Sastro hanya menggelengkan kepalanya, lantas bangkit kembali mengangkat keranda. Tangisnya betul-betul tak terbendung lagi saat ia mengangkat sendiri jasad Seira masuk ke dalam mobil jenazah. Ia pun ikut masuk di dalam mobil itu bersama Bunda Seira.

"Tro, bunda tahu kamu sedih. Tapi nggak apa-apa Tro nangis di depan Seira. Jangan malu," Bunda Seira berusaha menenangkan Sastro seraya mengelus punggungnya pelan. Sastro melepas kacamatanya lalu menundukkan kepalanya. Air mata jatuh ke telapak tangan Sastro. Tempat dimana Seira suka sekali menggambar tangannya. Sastro menyentuh gelang hitam yang ada di tangannya, gelang dari Seira. Gelang itu dibuat agar mereka tidak saling melupakan seberapa jauh jarak mereka. Sastro sudah tak tahan lagi, tangisnya mulai keras. Bunda Seira memeluk Sastro kemudian menyandarkan Sastro di pundaknya.

"Inget Tro kata Seira, gapapa sedih asal jangan ditahan." tangis Sastro semakin keras saat mengingat Seira yang begitu baik menerimanya dal, dalam keadaan rapuh hingga jatuh.

Selepas mereka sampai di pemakaman, Sastro mengangkat jasad Seira masuk ke liang lahat. Dan mengucapkan pamit untuk terakhir kalinya. Suaranya bergetar saat mengumandangkan adzan, di pertengahan adzan ia sempat terhenti akibat tangisan yang tak lagi mampu ia tahan. Ketika Seira betul-betul akan dikubur, Sastro berbisik, "Ra, tunggu aku disana ya. Biar kita bisa ketawa bareng-bareng lagi."

Jiwa Sastro seakan tertinggal di liang lahat itu, tiga langkah ia meninggalkan makan Seira, air mata tak mampu ia bendung lagi untuk kesekian kalinya. Sastro menolak untuk pulang bersama keluarga maupun sahabatnya. Ia memilih untuk berkeliling Jakarta menaiki motornya. Bernostalgia tentang Seira adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini. Ia menghidupkan mesin motornya lalu mulai perlahan meninggalkan tempat Seira dimakamkan. 

Sastro telah sampai di satu tempat nan asri dan nyaman. Itu adalah tempat pertama ia bertemu dengan Seira, taman kampus Fakultas Sastra di kampusnya. Ia terduduk sembari melamun, pikirannya kembali melayang pada masa lalu. Jika tempat itu bisa berbicara, Sastro pasti akan meminta tempat itu untuk bercerita soal bagaimana ia dan Seira yang berkelahi setiap harinya. Sampai-sampai mereka tertawa tanpa tahu alasannya. Tempat itu juga tahu betul bagaimana Seira selalu menghampiri Sastru yang kadang susah maupun sedih kondisinya. Seira yang selalu menemani Sastro dikala mabuk bahkan terkadang sampai mengantarkan ia pulang tanpa bilang-bilang. Seira yang selalu cerewet dan menyuapi Sastro makan secara paksa. Sastro betul-betul kehilangan jiwanya. Airmata mengalir tanpa ia sadari saat kenangan akan Seira itu menghampiri. Sastro kembali tersenyum sembari mengelus bangku kayu tua panjang di sampingnya. Seakan-akan ia bisa merasakan Seira sekarang sedang berada di dekatnya. Sastro menutup wajahnya, tangis kembali datang menghampirinya. Sampai-sampai ia tidak tahu kapan harus berhenti seperti ini. Bahkan belum sampai sehari Seira pergi, ia sudah hancur lebur seperti ini

Sastro berpindah tempat, ia pergi ke warkop tempat biasa ia dan Seira sarapan bubur ayam atau sekedar meminum susu hangat. Seira suka sekali bubur kacang hijau. Sastro pun memesan semangkuk bubur kacang hijau. Menyuap bubur itu dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tak lama kemudian si Penjaga warung menegurnya.

"Tumben mas nggak sama ceweknya." Sastro mengangkat kepalanya. Ia hanya tersenyum sembari berkata,

"Udah dipanggil sama Yang Maha Kuasa dia," senyum paksa Sastro terukir di wajahnya. si Penjaga warung itu terlihat terkejut.

"Turut berduka cita ya mas, maaf saya nggak tahu." ujar si Penjaga warung itu sambil menyodorkan segelas teh hangat.

"Ini mas buat mas, saya kasih gratis tapi jangan nangis. Nanti sedih si neng ngelihat mas sedih gini." ucap si Penjaga warung itu seraya tersenyum.

"Makasih pak." singkat Sastro sambil terukir senyum paksanya.

Hanya dua tempat yang Sastro sanggup untuk kunjungi. Ia takut semakin merasa sedih bila melanjutkan perjalanan ini. Sastro pun memutuskan untuk pulang, meskipun ia tahu. Ia tidak akan pernah bisa pulang betul-betul pulang dengan nyaman lagi seperti dulu. Karena Seira, tempat dimana ia bisa nyaman ketika pulang telah betul-betul tidak ada lagi. Seira telah hilang, begitu pula dengan jiwa dan raga Sastro yang ikut hilang.

 

 

eringat mengalir dari pelipis Sastro, ia mengelapnya kemudian. Sastro sedang membantu Bunda Seira mengangkat barang-barang milik Seira yang akan disumbangkan kepada Panti Asuhan seperti yang Seira sering pesankan.

"Bujang, kalo sampe aku meninggal duluan kamu harus janji supaya ngasihin semua barang aku ke Panti Asuhan," pinta Seira sembari menggenggam tangan Sastro dengan erat.

Ingatan akan kenangan Seira sudah seperti bayangan. Mengikuti tanpa henti seakan-akan menghantui. Sastro membuka lemari buku milik Seira, wangi khas buku tua merebak seluruh ruangan. Sastro menghela nafasnya, mengambil buku itu satu persatu. Seira suka sekali dengan buku novel tua, baginya cerita zaman dahulu lebih klasik dan menarik dibandingkan zaman sekarang yang mementikan berapa cetakan buku diulang ketimbang kualitas cerita di dalam buku itu. Ditambah lagi selera Seira tidak selalu soal romansa cinta. Beberapa buku kesukaannya berada di luar bidang kesukaan perempuan pada umumnya. Seira suka sekali novel psikopat atau pembunuhan berantai. Kata Seira, membaca cerita dengan konflik yang sulit dimengerti dapat memberikan kita semua ilmu nan tak terduga. Sastro tersenyum menyentuh buku itu satu persatu, buku yang dijaga Seina semenjak ia duduk di bangku SMA. Sastro meletakkan semua buku itu ke dalam kardus, sampai ia menemukan buku catatan kecil milik Seira. Buku itu biasa ia bawa saat ke kampus. Seira selalu membawa buku catatan kecil guna mencatat apa yang dosenjelaskan lewat lisan. Sastro mengintip isi buku itu, membuka halaman paling belakangnya. Nama Sastro tertulis banyak sekali di halaman belakang itu. Seira yang sedang bosan pasti menulis tulisan itu. Seira selalu menulis nama Sastro di kala ia sedang bosan dimanapun perempuan itu berada. Air mata Sastro jatuh ke atas kertas bertuliskan 'Sastro jelek' Ejekan yang biasa Seira lontarkan, senyum kecil terukir meskipun Sastro telah meneteskan air matanya. Sastro memutuskan untuk menyimpan buku catatan itu. Sisanya Sastro masukkan semua buku Seira ke dalam kardus, begitupula dengan baju dan barang-barang Seira lainnya.

"Tro, mau makan dulu?" tanya Bunda Seira, matanya masih bengkak. Nafasnya masih terengap akibat terus sesegukan karena tangisan.

"Gausah Bun, Sastro makan di rumah aja." tolak Sastro dengan perlahan. Bunda Seira hanya menganggukkan kepalanya. Bunda mengelus punggung Sastro dengan pelan.

"Tro, kenapa ya Seira perginya kok cepet banget." Perkataan Bunda Seira dengan suara bergetar membuat langkah Sastro terhenti. Sastro menoleh ke arah Bunda Seira, penyesalan yang terlihat di wajah Bunda tak kunjung hilang. Sastro melangkah mendekati Bunda Seira yang mulai terisak, Sastro memeluk Bunda Seira dengan perlahan seraya berkata,

"Tuhan tau Seira itu orang baik Bunda, makanya dia disuruh pulang duluan." Senyum palsu terukir di wajah Sastro. Ia menghela nafasnya yang mulai sesak lagi. Lalu, ia kembali berjalan ke arah mobil sembari membawa kardus berisi barang-barang Seira.

Sastro pun berpamit pulang selepas barang-barang Seira telah sukses terkirim ke Panti Asuhan oleh kurir online. Sastro mengenakan helm dan maskernya. Ia memandang sekeliling rumah Seira, tempat dimana canda dan tawa sederhana terjadi disana. Sastro tersenyum lagi seraya menahan air matanya lagi. Biasanya setelah sampai di depan rumah Seira dahulu, mereka selalu berbincang semenit atau dua menit di depan pagar. Berbincang lewat bisikan karena takut ketauan. Seira dahulu memang belum boleh berpacaran oleh bundanya. Sastro hanya dikenal sebagai sobat karibnya saja. Sastro menaiki motornya, melihat lagi sekelilingnya. Kemudian motornya berjalan pelan meninggalkan rumah Seira untuk terakhir kalinya. Meninggalkan jutaan kenangan akan dirinya dan Seira. Sastro menaikkan kecepatan motornya, ia tidak mau larut lagi akan kenangan masa lampaunya dengan Seira. 

Sastro betul-betul masih belum bisa mengendalikan emosinya. Motornya terus berjalan cepat hingga ngebut tak karuan, berhenti karena tetiba terdengar bisikan,

"Tro kamu kenapa sih? Kalo mau kecelakaan jangan pas lagi berduaan dong,"

Sastro menarik rem motornya, suara Seira terdengar kembali di telinganya bak halusinasi. Ia berhenti di pinggir jalan. Menundukkan kepalanya, melepas helm dengan kasar kemudian membanting helm itu ke trotoar. Sastro marah tapi tidak tahu ia harus marah ke siapa. Bila ia marah ke Tuhan maka Tuhan pasti murka. Bila ia marah kepada takdir namun takdir memang telah tercipta. Bila ia ingin marah kepada nasib namun nasib juga bergantung kepada tangannya. Sastro terduduk di halte pinggiran jalan Ibukota, menangisi kepergian Seira untuk kesekian kalinya. Suara Seira seakan menghantui di benaknya. Sastro masih betul-betul tidak terima akan kepergian Seira, kekasih tercintanya. Seperti ingin mengikuti jejak Seira agar mereka bisa terus bersamanya. Seperti manusia yang betul-betul tidak tahu kemana ia akan pulang dan rumahnya. Sastro benar-benar kehilangan kendali akan dirinya sendiri.

"Kenapa harus sekarang Ya Allah? Kenapa harus Seira duluan?"

Tangisan tak mampu lagi ia tahan, Sastro membenamkan wajahnya sembari menangis. Tidak ada lagi orang di malam itu. Hari telah malam memang, semakin dingin udara menusuk setiap inci tubuh Sastro. Tak lama kemudian hujan datang, seperti momen yang tepat bagi Sastro untuk meluapkan segala kesedihan yang ia rasakan. Sastro mengangkat dagunya perlahan, melihat ke arah lalu-lalang kendaraan. Nafasnya sesegukan akibat tangisan. Sastro menengok ke arah motornya yang tengah basah kuyup diguyur hujan. Dulu ia begitu suka hujan karena ada Seira yang mengoceh sepanjang rintikan hujan. Bahkan, Sastro tidak akan lelah meskipun harus berjam-jam mendengarkan ocehan Seira. Tapi, sekarang keadaan sudah berbeda. Sastro membenci hujan karena tidak ada lagi ocehan Seira, ia sendirian.

Tak lama hujan telah berhenti, Sastro kembali melanjutkan perjalanan. Hari sudah semakin dingin akibat datangnya angin malam. Tiba-tiba ponsel Sastro bergetar, tepat sekali di persimpangan ia membuka ponselnya. Ada pesan dari seseorang.

'Tro, nanti mampir ke rumah gue bisa?'

Pesan yang ia terima itu dari sahabat karib Seira, Kayla. Sastro hanya membalas pesan itu dengan pesan singkat, 'Oke'

Arah perjalanan Sastro berubah, ia belok kanan di persimpangan.  Sepertinya ada hal penting yang ingin Kayla bicarakan. Apalagi kalau bukan soal Seira?

Sastro telah sampai di sebuah rumah sederhana. Ia menghentikan laju kendaraannya, lantas mematikan mesinnya. Sastro melepas helm dan jaketnya, membuka pagar lalu berjalan masuk ke rumah itu.

"Assalammualaikum." 

Seorang perempuan lebih tinggi dari Seira keluar dari rumah itu. Perempuan itu sudah mengenakan baju tidur, matanya masih sembab akibat kehilangan jua seperti Sastro. 

"Ngobrol di luar aja gapapa ya Tro?" tanya Kayla dengan suara pelan.

"Gapapa, santai aja Kay." jawab Sastro.

Sastro memperhatikan sekelilingnya, rumah itu begitu asri. Banyak sekali pepohonan dan tanaman hijau yang mengelilingi rumah itu.

"Ada apa Kay? Kok lo mendadak nyuruh gue kesini?"

Kayla tersenyum paksa, ia menggenggam sebuah buku cerita karya Seira. Kayla memberikan buku itu kepada Sastro.

"Untuk apa Kay? Gue punya dua buku novel Seira yang ini." tolak Sastro saat Kayla hendak memberikan buku itu.

"Buka dulu aja Tro bukunya," ujar Kayla sembari mengelap matanya yang bengkak akibat airmata. Sastro pun membuka buku itu. Tiba-tiba ada secarik kertas yang jatuh dari selipan halaman buku itu. Sastro pun mengambilnya. Kertas itu terlipat rapi, dengan wangi vanilla kesukaan Seira. Sastro mengernyitkan dahinya, apa maksud dari semua ini?

"Ini apa Kay?" tanya Sastro pada Kayla. Kaylo menoleh ke arah Sastro lantas berkata,

"Baca aja dulu Tro. Itu dari dia." Dia yang dimaksud Kayla tak lain tak bukan ialah Seira. Sastro pun membuka lipatan kertas itu. Tulisan Seira terpampang jelas disana. Sastro memberikan kertas itu kembali pada Kayla.

"Kay, gue udah cukup hancur hari ini. Simpan aja di lo untuk gue baca nanti bisa nggak?" pinta Sastro dengan wajah lemas.

"Tro, sebaiknya lo baca itu dulu supaya lo tenang. Supaya kita sama-sama tenang." Kayla mulai meneteskan airmatanya lagi. Lalu ia terbatuk-batuk akibat angin malam selepas hujan.

"Tapi Kay, kepergian Seira itu bener-bener bikin gue hancur lebur. Hancur untuk berkali-kalinya. Apalagi dia pergi gak lama setelah bokap gue juga gaada. Harapan gue sekarang cuman bisa berdoa cepet-cepet nyusul mereka berdua." jelas Sastro dengan wajah penuh amarah. Ia betul-betul tidak terima diberikan kondisi seperti ini.

"Gue tau Tro, lo sedih banget karena Seira udah gaada. Tapi, di dalam kertas itu Seira udah tulis semua hal yang mau dia ungkapin ke lo. Harusnya lo lebih hargain peninggalan terakhir dia sebelum ajalnya," Kayla tetap bersikukuh agar Sastro mau membaca tulisan itu kemudian menyimpannya. Sastro pun mengambil kembali kertas itu yang ditaruh di atas meja oleh Kayla. Ia menghela nafasnya, betul-betul lelah akan hari ini. Hari terburuk dalam hidupnya setelah kehilangan Papa. Sastro membuka lagi lipatan kertas itu dengan perlahan, kemudian membacanya pelan-pelan.

 

Melepas hingga bebas

Tro, sudah lama sekali aku tidak bikin surat puisi, kuharap kau menyukai.

Tro, aku suka sekali melihat wajahmu dan mendengar suaramu di pagi siang sore petang hingga malam hari.

Tro, janji sama aku untuk selalu disini meski salah satu dari kita dipanggil untuk pergi.

Tro, kalau aku duluan yang pergi, tak ada yang perlu kau tangisi.

Tro, kalau aku duluan yang dipanggil Tuhan, kamu tidak boleh duduk di kantin sendirian.

Tro, kalau aku duluan yang disuruh pulang sama Tuhan, kamu tidak boleh makan mie instan sendirian.

Tro, kalau aku duluan yang masuk keranda kamu tidak boleh berhenti tertawa atau bercanda.

Tro, kalau aku duluan yang dimakamkan, kamu harus tetap di tengah keramaian menjauhi kesepian.

Tro, kalau aku benar-benar pergi duluan, kita harus buat perjanjian saling melepaskan.

Tro, kalau memang aku akan pergi ke alam berbeda, kau haru melepasku supaya bebanmu bebas nantinya.

Tro, kalau pun aku mati duluan tidak masuk surga tak apa, aku tetap mencintaimu apa adanya.

 

 

Air mata tak mampu lagi dibendung oleh Sastro, tangis kerasnya datang berkunjung lagi. Kayla berjalan masuk ke dalam rumah kemudian keluar membawa segelas air putih hangat untuk Sastro. Seira memang orang yang begitu baik dan sabar tentunya. Meskipun ia sedikit berisik, tapi itu bukan masalah yang besar bagi Kayla. Kayla menepuk pundak Sastro yang menundukkan kepalanya.

"Tro, she loves you more than she love herself."

(Tro, dia lebih mencintaimu ketimbang dirinya sendiri)

Isak tangis Sastro semakin keras terdengar. Ia tidak mampu mengatur nafasnya dengan baik. Tapi, Sastro sadar Seira memang benar. Ia harus melepas guna betul-betul bebas. Ia harus belajar melepas ketimbang terus mengikat yang tidak mungkin lagi terikat. Karena memang begitu jelas, hanya melepaskan yang mampu memberikan kita semua kebebasan dalam kehidupan. Di secarik kertas itu ada emoji senyum khas tulisan Seira. Beserta tulisan 'aku suka Sastro yang dulu, sekarang dan bertahun-tahun ke depan'.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Kebaktian Usai.

Bartos menutup kafe, merogoh saku mencari kunci sepedanya. Berjalan keluar dari pintu kaca, disambut oleh hangatnya matahari sore. Marienna melintas tepat di depannya saat ia hendak berjalan menuju parkiran sepeda. Menghentikan langkah saat wangi parfum Marienna tercium dari kejauhan. Bartos menoleh ke arah sudut taman kota, Marienna sedang berjalan seraya tersenyum ke arahnya. Mengenakan baju terusan selutut jingga. Menggenggam tas jinjing kecil yang biasanya hanya berisi dompet kecil dan ponselnya. "Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda. "Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna. "Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba. "Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya. "Aku pergi duluan, salam untuk paman."...

SWEETBITTER / Prolog

  "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence," Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat. "Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya. "Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker. "Ditunda lagi?" "Hmmm..." "Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?" "Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal.  "Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu." "Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di...

Selamat Ulang Tahun, Mantan.

  Selamat ulang tahun untukmu mantan Sepotong masa lalu yang enggan dijadikan kenangan Secercah harapan yang lupus karena hati yang tulus Sebuah kotak berisi tawa dan tangisan Beserta dengan memori akan kepedihan Dilengkapi dengan ingatan yang pupus Tahun lalu masih dapat terucapkan Tahun lalunya lagi juga masih dapat kuungkapkan Namun sekarang, setelah ingatan itu hangus Setelah kamu pergi, terlupakan semua ucapan Beserta kenangan tawa, canda hingga kepedihan Tiada lagi harapan dan kenangan  Mereka telah pupus akibat hati nan tulus Selamat ulang tahun mantan Semoga hidupmu terisi dengan manisnya kenangan Tidak lagi penuh dengan harapan yang pupus.