Sastro bersandar di
belakang pintu kamarnya. Kemeja hitam masih ia pakai dengan rapi. Rambutnya
acak-acakan hampir seirama dengan berbagai macam buku di kamarnya yang kacau
balau. Sastro meremas lagi kepalanya. Menonjok berkali-kali kaca yang
berlumuran darah di bilik kamarnya. Tangisan sudah tak lagi asing ia lihat di
wajahnya. Terpampang wajah manis wanita di kacanya. Wajah Seira yang akan
selalu dirindukannya. Ia terisak kembali. Sudah berpuluh kali Ibunya mengetuk pintu
kamar Sastro memanggilnya untuk keluar. Sastro masih enggan bersuara, air mata
masih terus mengalir di matanya. Jatuh tanpa bertanya apakah Sastru pernah
rapuh. Sastro sudah tidak berdaya lagi. Ia mengusap air matanya pelan, duduk di
atas ranjang. Pikirannya melayang seakan Seira berada di sampingnya berkata
"Hei bujang, kau terlihat jelek kalau menangis begini." Suara
menyebalkan Seira akan selalu terdengar di telinganya. Suara Seira yang selalu
menyuruhnya untuk berhenti merokok ataupun mabuk di tengah hari. Sastro
tersenyum selepas bayangan Seira ada di benaknya. Selalu percaya Seira tidak
pernah pergi, ia masih berada disini meski tidak menunjukkan diri.
"Tro, temenmu udah
pada nunggu itu ndok," Suara bergetar Ibunya terdengar kembali untuk
puluhan kalinya.
Sastro bangun dari
duduknya, bercermin sembari mengelap air mata. Sastro mengenakan peci untuk
pertama kalinya meskipun Seira sudah berpuluh kali menyuruhnya untuk memakai
peci sebelum ia pergi. Sastro berjalan lemah lunglai keluar dari kamarnya. Beberapa
teman-temannya sudah duduk lesehan mengelilingi jasad Seira yang terbujur kaku.
Wajah manis Seira tetap terlihat meskipun jiwa, raga hingga nyawanya telah
tiada. Sastro duduk di samping kanan jasad Seira mencium kening Seira seraya
menahan isak tangisnya.
"Tro, kamu aja yang
pimpin yasinannya." pinta teman Sastro, Alfi. Sastro hanya menganggukkan
kepalanya, tak lama kemudian lafadz ayat suci keluar dari mulutnya. Wajah
teman-teman Sastro begitu tidak percaya. untuk pertama kalinya mereka melihat
Sastro yang berbeda. betul-betul berbeda. Mereka pun ikut mengiringi suara
Sastro yang membacakan lantunan ayat dengan sangat indah. Tanpa Sastro sadari,
air mata kembali jatuh di atas ayat suci. Suara Sastro terhenti sebentar,
mengambil nafas berusaha untuk melanjutkan. Sastro pun lanjut membacakan ayat.
Selesai ia dan para pelayat membacakan ayat, mereka pun bersiap untuk pergi ke
pemakaman. Sastro terduduk di bangku teras, ia betul-betul tidak sadar dan tahu
siapa saja yang sudah berkata, "Sabar ya Sas, neng Seira teh orang baik
jadi pasti masuk surga," atau beberapa teman yang jua berkata guna
menenangkan jiwanya, "Sabar Tro, namanya juga hidup."
Sastro betul-betul tidak
perduli dan mengindahi semua yang mereka katakan. Bagi Sastro, tidak berguna
mau sesabar apapun ia, takkan membuat Seira kembali berada di sisinya. Sastro
hany tersenyum sekali dua kali untuk para pelayat yang datang. Ia tak banyak
bicara dan bercanda seperti biasanya. Matanya hanya tertuju pada pandangan
kosong. Hatinya kosong melompong, tangannya dingin namun berkeringat akibat
teriknya matahari di hari itu. Sastro terus berusaha untuk menahan airmatanya
jatuh kembali. Teman-temannya datang, menawarkan air putih dan rokok. Tapi,
Sastro menolak mentah-mentah rokok yang mereka tawarkan. Hal itu malah semakin
membuatnya rindu Seira. Seakan-akan Seira berada di sampingnya berkata,
"Bujang kalo nggak mau dengerin aku, mendingan kita musuhan aja,"
suara cempreng Seira seperti menghantui pikiran Sastro.
"Tro, jangan bengong
mulu nanti lo kesambet cuk," teguran dari Fariz teman Sastro membuat
pandangan Sastro teralih.
"Dia bukan bengong
atuh Riz, dia teh lagi sedig. Meni geleuh sia." timpal Nia pada Fariz.
Sastro hanya tersenyum
kecil sontak berkata, "Seira masuk surga nggak ya Ni?" tanya Sastro
dengan wajah polosnya.
Nia hanya tersenyum
sambil berkata, "Lihat, yang datang ke pemakaman Seira aja teh banyak
banget. Bahkan ada beberapa karangan bunga buat Seira yang bukan siapa-siapa
sebenernya. Seira itu orang baik Tro, Tuhan nggak mungkin ingkar,"
Sastro menundukkan
kepalanya, dalam hatinya berkata. "Ra, kenapa harus kamu duluan sih yang
pergi?"
Mobil jenazah yang
ditunggu mereka telah tiba. Sastro mengangkat kepalanya, bergegas masuk guna
mengangkat keranda Seira. Saat ia mengangkat jasad Seira berempat dengan adik
dan sepupu Seira, tangannya gemetar. Mereka sempat berhenti di depan pagar
karena tangan Sastro yang gemetar.
"Lai indak ba'a
da?"
("gapapa
bang?")
Sastro menoleh ke arah
sepupu Seira yang bertanya dengan bahasa minang. Sastro hanya menggelengkan
kepalanya, lantas bangkit kembali mengangkat keranda. Tangisnya betul-betul tak
terbendung lagi saat ia mengangkat sendiri jasad Seira masuk ke dalam mobil
jenazah. Ia pun ikut masuk di dalam mobil itu bersama Bunda Seira.
"Tro, bunda tahu
kamu sedih. Tapi nggak apa-apa Tro nangis di depan Seira. Jangan malu,"
Bunda Seira berusaha menenangkan Sastro seraya mengelus punggungnya pelan.
Sastro melepas kacamatanya lalu menundukkan kepalanya. Air mata jatuh ke
telapak tangan Sastro. Tempat dimana Seira suka sekali menggambar tangannya.
Sastro menyentuh gelang hitam yang ada di tangannya, gelang dari Seira. Gelang
itu dibuat agar mereka tidak saling melupakan seberapa jauh jarak mereka.
Sastro sudah tak tahan lagi, tangisnya mulai keras. Bunda Seira memeluk Sastro
kemudian menyandarkan Sastro di pundaknya.
"Inget Tro kata
Seira, gapapa sedih asal jangan ditahan." tangis Sastro semakin keras saat
mengingat Seira yang begitu baik menerimanya dal, dalam keadaan rapuh hingga
jatuh.
Selepas mereka sampai di
pemakaman, Sastro mengangkat jasad Seira masuk ke liang lahat. Dan mengucapkan
pamit untuk terakhir kalinya. Suaranya bergetar saat mengumandangkan adzan, di
pertengahan adzan ia sempat terhenti akibat tangisan yang tak lagi mampu ia
tahan. Ketika Seira betul-betul akan dikubur, Sastro berbisik, "Ra, tunggu
aku disana ya. Biar kita bisa ketawa bareng-bareng lagi."
Jiwa Sastro seakan
tertinggal di liang lahat itu, tiga langkah ia meninggalkan makan Seira, air
mata tak mampu ia bendung lagi untuk kesekian kalinya. Sastro menolak untuk
pulang bersama keluarga maupun sahabatnya. Ia memilih untuk berkeliling Jakarta
menaiki motornya. Bernostalgia tentang Seira adalah hal terbaik yang bisa ia
lakukan saat ini. Ia menghidupkan mesin motornya lalu mulai perlahan meninggalkan
tempat Seira dimakamkan.
Sastro telah sampai di
satu tempat nan asri dan nyaman. Itu adalah tempat pertama ia bertemu dengan
Seira, taman kampus Fakultas Sastra di kampusnya. Ia terduduk sembari melamun,
pikirannya kembali melayang pada masa lalu. Jika tempat itu bisa berbicara,
Sastro pasti akan meminta tempat itu untuk bercerita soal bagaimana ia dan
Seira yang berkelahi setiap harinya. Sampai-sampai mereka tertawa tanpa tahu
alasannya. Tempat itu juga tahu betul bagaimana Seira selalu menghampiri Sastru
yang kadang susah maupun sedih kondisinya. Seira yang selalu menemani Sastro
dikala mabuk bahkan terkadang sampai mengantarkan ia pulang tanpa
bilang-bilang. Seira yang selalu cerewet dan menyuapi Sastro makan secara
paksa. Sastro betul-betul kehilangan jiwanya. Airmata mengalir tanpa ia sadari
saat kenangan akan Seira itu menghampiri. Sastro kembali tersenyum sembari
mengelus bangku kayu tua panjang di sampingnya. Seakan-akan ia bisa merasakan
Seira sekarang sedang berada di dekatnya. Sastro menutup wajahnya, tangis
kembali datang menghampirinya. Sampai-sampai ia tidak tahu kapan harus berhenti
seperti ini. Bahkan belum sampai sehari Seira pergi, ia sudah hancur lebur
seperti ini
Sastro berpindah tempat,
ia pergi ke warkop tempat biasa ia dan Seira sarapan bubur ayam atau sekedar
meminum susu hangat. Seira suka sekali bubur kacang hijau. Sastro pun memesan
semangkuk bubur kacang hijau. Menyuap bubur itu dengan air mata yang mengalir
di pipinya. Tak lama kemudian si Penjaga warung menegurnya.
"Tumben mas nggak
sama ceweknya." Sastro mengangkat kepalanya. Ia hanya tersenyum sembari
berkata,
"Udah dipanggil sama
Yang Maha Kuasa dia," senyum paksa Sastro terukir di wajahnya. si Penjaga
warung itu terlihat terkejut.
"Turut berduka cita
ya mas, maaf saya nggak tahu." ujar si Penjaga warung itu sambil
menyodorkan segelas teh hangat.
"Ini mas buat mas,
saya kasih gratis tapi jangan nangis. Nanti sedih si neng ngelihat mas sedih
gini." ucap si Penjaga warung itu seraya tersenyum.
"Makasih pak."
singkat Sastro sambil terukir senyum paksanya.
Hanya dua tempat yang
Sastro sanggup untuk kunjungi. Ia takut semakin merasa sedih bila melanjutkan
perjalanan ini. Sastro pun memutuskan untuk pulang, meskipun ia tahu. Ia tidak
akan pernah bisa pulang betul-betul pulang dengan nyaman lagi seperti dulu.
Karena Seira, tempat dimana ia bisa nyaman ketika pulang telah betul-betul
tidak ada lagi. Seira telah hilang, begitu pula dengan jiwa dan raga Sastro
yang ikut hilang.
eringat mengalir dari
pelipis Sastro, ia mengelapnya kemudian. Sastro sedang membantu Bunda Seira
mengangkat barang-barang milik Seira yang akan disumbangkan kepada Panti Asuhan
seperti yang Seira sering pesankan.
"Bujang, kalo sampe
aku meninggal duluan kamu harus janji supaya ngasihin semua barang aku ke Panti
Asuhan," pinta Seira sembari menggenggam tangan
Sastro dengan erat.
Ingatan akan kenangan
Seira sudah seperti bayangan. Mengikuti tanpa henti seakan-akan menghantui.
Sastro membuka lemari buku milik Seira, wangi khas buku tua merebak seluruh
ruangan. Sastro menghela nafasnya, mengambil buku itu satu persatu. Seira suka
sekali dengan buku novel tua, baginya cerita zaman dahulu lebih klasik dan
menarik dibandingkan zaman sekarang yang mementikan berapa cetakan buku diulang
ketimbang kualitas cerita di dalam buku itu. Ditambah lagi selera Seira tidak
selalu soal romansa cinta. Beberapa buku kesukaannya berada di luar bidang
kesukaan perempuan pada umumnya. Seira suka sekali novel psikopat atau
pembunuhan berantai. Kata Seira, membaca cerita dengan konflik yang sulit
dimengerti dapat memberikan kita semua ilmu nan tak terduga. Sastro tersenyum
menyentuh buku itu satu persatu, buku yang dijaga Seina semenjak ia duduk di
bangku SMA. Sastro meletakkan semua buku itu ke dalam kardus, sampai ia
menemukan buku catatan kecil milik Seira. Buku itu biasa ia bawa saat ke
kampus. Seira selalu membawa buku catatan kecil guna mencatat apa yang
dosenjelaskan lewat lisan. Sastro mengintip isi buku itu, membuka halaman
paling belakangnya. Nama Sastro tertulis banyak sekali di halaman belakang itu.
Seira yang sedang bosan pasti menulis tulisan itu. Seira selalu menulis nama
Sastro di kala ia sedang bosan dimanapun perempuan itu berada. Air mata Sastro
jatuh ke atas kertas bertuliskan 'Sastro jelek' Ejekan yang
biasa Seira lontarkan, senyum kecil terukir meskipun Sastro telah meneteskan
air matanya. Sastro memutuskan untuk menyimpan buku catatan itu. Sisanya Sastro
masukkan semua buku Seira ke dalam kardus, begitupula dengan baju dan
barang-barang Seira lainnya.
"Tro, mau makan
dulu?" tanya Bunda Seira, matanya masih bengkak. Nafasnya masih terengap
akibat terus sesegukan karena tangisan.
"Gausah Bun, Sastro
makan di rumah aja." tolak Sastro dengan perlahan. Bunda Seira hanya
menganggukkan kepalanya. Bunda mengelus punggung Sastro dengan pelan.
"Tro, kenapa ya
Seira perginya kok cepet banget." Perkataan Bunda Seira dengan suara
bergetar membuat langkah Sastro terhenti. Sastro menoleh ke arah Bunda Seira,
penyesalan yang terlihat di wajah Bunda tak kunjung hilang. Sastro melangkah
mendekati Bunda Seira yang mulai terisak, Sastro memeluk Bunda Seira dengan
perlahan seraya berkata,
"Tuhan tau Seira itu
orang baik Bunda, makanya dia disuruh pulang duluan." Senyum palsu terukir
di wajah Sastro. Ia menghela nafasnya yang mulai sesak lagi. Lalu, ia kembali
berjalan ke arah mobil sembari membawa kardus berisi barang-barang Seira.
Sastro pun berpamit
pulang selepas barang-barang Seira telah sukses terkirim ke Panti Asuhan oleh
kurir online. Sastro mengenakan helm dan maskernya. Ia memandang sekeliling
rumah Seira, tempat dimana canda dan tawa sederhana terjadi disana. Sastro
tersenyum lagi seraya menahan air matanya lagi. Biasanya setelah sampai di
depan rumah Seira dahulu, mereka selalu berbincang semenit atau dua menit di
depan pagar. Berbincang lewat bisikan karena takut ketauan. Seira dahulu memang
belum boleh berpacaran oleh bundanya. Sastro hanya dikenal sebagai sobat
karibnya saja. Sastro menaiki motornya, melihat lagi sekelilingnya. Kemudian
motornya berjalan pelan meninggalkan rumah Seira untuk terakhir kalinya.
Meninggalkan jutaan kenangan akan dirinya dan Seira. Sastro menaikkan kecepatan
motornya, ia tidak mau larut lagi akan kenangan masa lampaunya dengan
Seira.
Sastro betul-betul masih
belum bisa mengendalikan emosinya. Motornya terus berjalan cepat hingga ngebut
tak karuan, berhenti karena tetiba terdengar bisikan,
"Tro kamu kenapa
sih? Kalo mau kecelakaan jangan pas lagi berduaan dong,"
Sastro menarik rem
motornya, suara Seira terdengar kembali di telinganya bak halusinasi. Ia berhenti
di pinggir jalan. Menundukkan kepalanya, melepas helm dengan kasar kemudian
membanting helm itu ke trotoar. Sastro marah tapi tidak tahu ia harus marah ke
siapa. Bila ia marah ke Tuhan maka Tuhan pasti murka. Bila ia marah kepada
takdir namun takdir memang telah tercipta. Bila ia ingin marah kepada nasib
namun nasib juga bergantung kepada tangannya. Sastro terduduk di halte
pinggiran jalan Ibukota, menangisi kepergian Seira untuk kesekian kalinya.
Suara Seira seakan menghantui di benaknya. Sastro masih betul-betul tidak
terima akan kepergian Seira, kekasih tercintanya. Seperti ingin mengikuti jejak
Seira agar mereka bisa terus bersamanya. Seperti manusia yang betul-betul tidak
tahu kemana ia akan pulang dan rumahnya. Sastro benar-benar kehilangan kendali
akan dirinya sendiri.
"Kenapa harus
sekarang Ya Allah? Kenapa harus Seira duluan?"
Tangisan tak mampu lagi
ia tahan, Sastro membenamkan wajahnya sembari menangis. Tidak ada lagi orang di
malam itu. Hari telah malam memang, semakin dingin udara menusuk setiap inci
tubuh Sastro. Tak lama kemudian hujan datang, seperti momen yang tepat bagi
Sastro untuk meluapkan segala kesedihan yang ia rasakan. Sastro mengangkat
dagunya perlahan, melihat ke arah lalu-lalang kendaraan. Nafasnya sesegukan
akibat tangisan. Sastro menengok ke arah motornya yang tengah basah kuyup
diguyur hujan. Dulu ia begitu suka hujan karena ada Seira yang mengoceh
sepanjang rintikan hujan. Bahkan, Sastro tidak akan lelah meskipun harus
berjam-jam mendengarkan ocehan Seira. Tapi, sekarang keadaan sudah berbeda.
Sastro membenci hujan karena tidak ada lagi ocehan Seira, ia sendirian.
Tak lama hujan telah
berhenti, Sastro kembali melanjutkan perjalanan. Hari sudah semakin dingin
akibat datangnya angin malam. Tiba-tiba ponsel Sastro bergetar, tepat sekali di
persimpangan ia membuka ponselnya. Ada pesan dari seseorang.
'Tro, nanti mampir ke
rumah gue bisa?'
Pesan yang ia terima itu
dari sahabat karib Seira, Kayla. Sastro hanya membalas pesan itu dengan pesan
singkat, 'Oke'
Arah perjalanan Sastro
berubah, ia belok kanan di persimpangan. Sepertinya ada hal penting yang
ingin Kayla bicarakan. Apalagi kalau bukan soal Seira?
Sastro telah sampai di
sebuah rumah sederhana. Ia menghentikan laju kendaraannya, lantas mematikan
mesinnya. Sastro melepas helm dan jaketnya, membuka pagar lalu berjalan masuk
ke rumah itu.
"Assalammualaikum."
Seorang perempuan lebih
tinggi dari Seira keluar dari rumah itu. Perempuan itu sudah mengenakan baju
tidur, matanya masih sembab akibat kehilangan jua seperti Sastro.
"Ngobrol di luar aja
gapapa ya Tro?" tanya Kayla dengan suara pelan.
"Gapapa, santai aja
Kay." jawab Sastro.
Sastro memperhatikan
sekelilingnya, rumah itu begitu asri. Banyak sekali pepohonan dan tanaman hijau
yang mengelilingi rumah itu.
"Ada apa Kay? Kok lo
mendadak nyuruh gue kesini?"
Kayla tersenyum paksa, ia
menggenggam sebuah buku cerita karya Seira. Kayla memberikan buku itu kepada
Sastro.
"Untuk apa Kay? Gue
punya dua buku novel Seira yang ini." tolak Sastro saat Kayla hendak
memberikan buku itu.
"Buka dulu aja Tro
bukunya," ujar Kayla sembari mengelap matanya yang bengkak akibat airmata.
Sastro pun membuka buku itu. Tiba-tiba ada secarik kertas yang jatuh dari
selipan halaman buku itu. Sastro pun mengambilnya. Kertas itu terlipat rapi,
dengan wangi vanilla kesukaan Seira. Sastro mengernyitkan dahinya, apa maksud
dari semua ini?
"Ini apa Kay?"
tanya Sastro pada Kayla. Kaylo menoleh ke arah Sastro lantas berkata,
"Baca aja dulu Tro.
Itu dari dia." Dia yang dimaksud Kayla tak lain tak bukan ialah Seira.
Sastro pun membuka lipatan kertas itu. Tulisan Seira terpampang jelas disana.
Sastro memberikan kertas itu kembali pada Kayla.
"Kay, gue udah cukup
hancur hari ini. Simpan aja di lo untuk gue baca nanti bisa nggak?" pinta
Sastro dengan wajah lemas.
"Tro, sebaiknya lo
baca itu dulu supaya lo tenang. Supaya kita sama-sama tenang." Kayla mulai
meneteskan airmatanya lagi. Lalu ia terbatuk-batuk akibat angin malam selepas
hujan.
"Tapi Kay, kepergian
Seira itu bener-bener bikin gue hancur lebur. Hancur untuk berkali-kalinya.
Apalagi dia pergi gak lama setelah bokap gue juga gaada. Harapan gue sekarang
cuman bisa berdoa cepet-cepet nyusul mereka berdua." jelas Sastro dengan
wajah penuh amarah. Ia betul-betul tidak terima diberikan kondisi seperti ini.
"Gue tau Tro, lo
sedih banget karena Seira udah gaada. Tapi, di dalam kertas itu Seira udah
tulis semua hal yang mau dia ungkapin ke lo. Harusnya lo lebih hargain
peninggalan terakhir dia sebelum ajalnya," Kayla tetap bersikukuh agar
Sastro mau membaca tulisan itu kemudian menyimpannya. Sastro pun mengambil
kembali kertas itu yang ditaruh di atas meja oleh Kayla. Ia menghela nafasnya,
betul-betul lelah akan hari ini. Hari terburuk dalam hidupnya setelah
kehilangan Papa. Sastro membuka lagi lipatan kertas itu dengan perlahan,
kemudian membacanya pelan-pelan.
Melepas hingga
bebas
Tro, sudah lama sekali
aku tidak bikin surat puisi, kuharap kau menyukai.
Tro, aku suka sekali
melihat wajahmu dan mendengar suaramu di pagi siang sore petang hingga malam
hari.
Tro, janji sama aku untuk
selalu disini meski salah satu dari kita dipanggil untuk pergi.
Tro, kalau aku duluan
yang pergi, tak ada yang perlu kau tangisi.
Tro, kalau aku duluan
yang dipanggil Tuhan, kamu tidak boleh duduk di kantin sendirian.
Tro, kalau aku duluan
yang disuruh pulang sama Tuhan, kamu tidak boleh makan mie instan sendirian.
Tro, kalau aku duluan
yang masuk keranda kamu tidak boleh berhenti tertawa atau bercanda.
Tro, kalau aku duluan
yang dimakamkan, kamu harus tetap di tengah keramaian menjauhi kesepian.
Tro, kalau aku
benar-benar pergi duluan, kita harus buat perjanjian saling melepaskan.
Tro, kalau memang aku
akan pergi ke alam berbeda, kau haru melepasku supaya bebanmu bebas nantinya.
Tro, kalau pun aku mati
duluan tidak masuk surga tak apa, aku tetap mencintaimu apa adanya.
Air mata tak mampu lagi
dibendung oleh Sastro, tangis kerasnya datang berkunjung lagi. Kayla berjalan
masuk ke dalam rumah kemudian keluar membawa segelas air putih hangat untuk
Sastro. Seira memang orang yang begitu baik dan sabar tentunya. Meskipun ia
sedikit berisik, tapi itu bukan masalah yang besar bagi Kayla. Kayla menepuk
pundak Sastro yang menundukkan kepalanya.
"Tro, she
loves you more than she love herself."
(Tro, dia lebih
mencintaimu ketimbang dirinya sendiri)
Isak tangis Sastro
semakin keras terdengar. Ia tidak mampu mengatur nafasnya dengan baik. Tapi,
Sastro sadar Seira memang benar. Ia harus melepas guna betul-betul bebas. Ia
harus belajar melepas ketimbang terus mengikat yang tidak mungkin lagi terikat.
Karena memang begitu jelas, hanya melepaskan yang mampu memberikan kita semua
kebebasan dalam kehidupan. Di secarik kertas itu ada emoji senyum khas tulisan
Seira. Beserta tulisan 'aku suka Sastro yang dulu, sekarang dan
bertahun-tahun ke depan'.
Komentar
Posting Komentar