"Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda.
"Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna.
"Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba.
"Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya.
"Aku pergi duluan, salam untuk paman." Bartos tidak menawarkan tumpangan, padahal jelas terpampang bangku penumpang di sepedanya. Marienna hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Bartos mulai mengayuh sepedanya, semakin jauh jarak ia dengan Marienna.
Sesampainya di rumah, ia memarkirkan sepeda di bawah pohon mangga. Duduk termenung seraya menghisap rokok terakhirnya. Menyemprotkan parfum ke arah kemeja yang dikenakannya, menghindari ocehan Mama. Bartos melepas sandal yang dikenakannya. Berjalan masuk perlahan ke dalam rumah yang pintu tamunya terbuka.
"Assalammualaikum!" Bartos masuk lantas mencuci kedua tangan dan kakinya. Aturan pertama yang dibuat oleh Mama.
"Ma, mau makan apa?" Bartos mengintip dari daun pintu, bertanya jua kepada Mama. Mama hanya tersenyum, tidak dapat berkata apa-apa. Hanya tersenyum, menggelengkan kepala dan menganggukkan kepalanya.
"Makan soto betawi lagi yaa...Aku masakin," Ia pun berjalan meninggalkan Mama yang hanya menganggukkan kepala. Berlari ke dapur setelah menyaut pisau di rak piring. Bartos menoleh ke arah kalender tahunan. Sudah hampir akhir tahun namun tidak ada tanda-tanda kesembuhan Mama sedikitpun. Ia masih bingung. Sudah beratus rumah sakit dan klinik yang ia datangi, namun Mama tak kunjung pulih.
"Permisi," suara seorang perempuan tak asing menghampiri telinga Bartos, membuat ia terpaksa menoleh ke arah pintu ruang tamu. Terkejut Bartos dibuatnya, melihat Marienna yang berdiri terbujur kaku di depan sana.
"Kenapa na?" tanya Bartos yang langsung berlari ke arah pintu ruang tamu.
"Tolongin aku.. Papa aku.." tanpa perlu Marienna menyelesaikan pembicaraannya, Bartos mengambil jaket kemudian mengenakannya. Tak lupa masker telah dipakai di wajahnya. Bartos pun masuk ke rumah Marienna, terlihat Ayah Marienna, mengenakan baju pendeta sembari memegang sebotol minuman alkohol. Bartos menggelengkan kepalanya, melihat Ayah Marienna tertawa keras tiada hentinya. Ibu Marienna hanya mampu bersembunyi di bawah kolong meja.
'Keluarga ini memang gila.'
Bartos menampar wajah Ayah Marienna, tidak butuh waktu yang banyak. Kesadaran menghampiri ayahnya, ganja dilepas dari tangannya. Kegilaan itu terhenti akibat tamparan keras dari Bartos.
"YA TUHAN AMPUNI AKU LAGI, AMPUNI AKU HAHAHAHAHA..." Tawa gila itu masih berlanjut, Bartos menusukkan jarum yang diberikan Marienna kepadanya. Ayah Marienna langsung merobohkan badannya tepat di dekat meja kaca. Hampir saja kepalanya hancur jika terken meja kaca. Bartos mengelap keringatnya yang bercucuran.
"Terima kasih." singkat Marienna, melihat langkah Bartos keluar dari rumahnya.
"Ya," Marienna terlihat sedih, ia tak mampu lagi menahan semua perasaannya. Ia berlari ke arah Bartos, memeluknya lagi dari belakang. Tangis tak mampu lagi ia tahan. Kalung salib yang menghalangi tidak lagi menjadi hambatan baginya untuk mencintai.
"Aku tidak malu berpacaran dengan teroris." singkat Marienna, Bartos membalikkan badannya. Memegang tangan kecil perempuan itu.
"Aku juga tidak malu mencintai kaum kafir. Namun, batasan kita hanya sampai mencintai saja Marienna, bukan saling memiliki satu sama lainnya." jelas Bartos diikuti dengan tangis Marienna yang tak mampu ia tahan lagi.
Bartos pergi, menjauhi Marienna lagi dan lagi. Tidak perduli Bartos disebut teroris oleh keluarganya, ia sendiri pun tidak perduli disebut kaum kafir oleh keluarga Bartos. Yang ia inginkan hanyalah saling memiliki satu sama lain tanpa ada persyaratan lainnya.
Komentar
Posting Komentar