Langsung ke konten utama

Setelah Kebaktian Usai.




Bartos menutup kafe, merogoh saku mencari kunci sepedanya. Berjalan keluar dari pintu kaca, disambut oleh hangatnya matahari sore. Marienna melintas tepat di depannya saat ia hendak berjalan menuju parkiran sepeda. Menghentikan langkah saat wangi parfum Marienna tercium dari kejauhan. Bartos menoleh ke arah sudut taman kota, Marienna sedang berjalan seraya tersenyum ke arahnya. Mengenakan baju terusan selutut jingga. Menggenggam tas jinjing kecil yang biasanya hanya berisi dompet kecil dan ponselnya.

"Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda.

"Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna.

"Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba.

"Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya.

"Aku pergi duluan, salam untuk paman." Bartos tidak menawarkan tumpangan, padahal jelas terpampang bangku penumpang di sepedanya. Marienna hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Bartos mulai mengayuh sepedanya, semakin jauh jarak ia dengan Marienna.

Sesampainya di rumah, ia memarkirkan sepeda di bawah pohon mangga. Duduk termenung seraya menghisap rokok terakhirnya. Menyemprotkan parfum ke arah kemeja yang dikenakannya, menghindari ocehan Mama. Bartos melepas sandal yang dikenakannya. Berjalan masuk perlahan ke dalam rumah yang pintu tamunya terbuka.

"Assalammualaikum!" Bartos masuk lantas mencuci kedua tangan dan kakinya. Aturan pertama yang dibuat oleh Mama.

"Ma, mau makan apa?" Bartos mengintip dari daun pintu, bertanya jua kepada Mama. Mama hanya tersenyum, tidak dapat berkata apa-apa. Hanya tersenyum, menggelengkan kepala dan menganggukkan kepalanya.

"Makan soto betawi lagi yaa...Aku masakin," Ia pun berjalan meninggalkan Mama yang hanya menganggukkan kepala. Berlari ke dapur setelah menyaut pisau di rak piring. Bartos menoleh ke arah kalender tahunan. Sudah hampir akhir tahun namun tidak ada tanda-tanda kesembuhan Mama sedikitpun. Ia masih bingung. Sudah beratus rumah sakit dan klinik yang ia datangi, namun Mama tak kunjung pulih. 

"Permisi," suara seorang perempuan tak asing menghampiri telinga Bartos, membuat ia terpaksa menoleh ke arah pintu ruang tamu. Terkejut Bartos dibuatnya, melihat Marienna yang berdiri terbujur kaku di depan sana.

"Kenapa na?" tanya Bartos yang langsung berlari ke arah pintu ruang tamu.

"Tolongin aku.. Papa aku.." tanpa perlu Marienna menyelesaikan pembicaraannya, Bartos mengambil jaket kemudian mengenakannya. Tak lupa masker telah dipakai di wajahnya. Bartos pun masuk ke rumah Marienna, terlihat Ayah Marienna, mengenakan baju pendeta sembari memegang sebotol minuman alkohol. Bartos menggelengkan kepalanya, melihat Ayah Marienna tertawa keras tiada hentinya. Ibu Marienna hanya mampu bersembunyi di bawah kolong meja. 

'Keluarga ini memang gila.'

Bartos menampar wajah Ayah Marienna, tidak butuh waktu yang banyak. Kesadaran menghampiri ayahnya, ganja dilepas dari tangannya. Kegilaan itu terhenti akibat tamparan keras dari Bartos.

"YA TUHAN AMPUNI AKU LAGI, AMPUNI AKU HAHAHAHAHA..." Tawa gila itu masih berlanjut, Bartos menusukkan jarum yang diberikan Marienna kepadanya. Ayah Marienna langsung merobohkan badannya tepat di dekat meja kaca. Hampir saja kepalanya hancur jika terken meja kaca. Bartos mengelap keringatnya yang bercucuran.

"Terima kasih." singkat Marienna, melihat langkah Bartos keluar dari rumahnya.

"Ya," Marienna terlihat sedih, ia tak mampu lagi menahan semua perasaannya. Ia berlari ke arah Bartos, memeluknya lagi dari belakang. Tangis tak mampu lagi ia tahan. Kalung salib yang menghalangi tidak lagi menjadi hambatan baginya untuk mencintai.

"Aku tidak malu berpacaran dengan teroris." singkat Marienna, Bartos membalikkan badannya. Memegang tangan kecil perempuan itu.

"Aku juga tidak malu mencintai kaum kafir. Namun, batasan kita hanya sampai mencintai saja Marienna, bukan saling memiliki satu sama lainnya." jelas Bartos diikuti dengan tangis Marienna yang tak mampu ia tahan lagi.

Bartos pergi, menjauhi Marienna lagi dan lagi. Tidak perduli Bartos disebut teroris oleh keluarganya, ia sendiri pun tidak perduli disebut kaum kafir oleh keluarga Bartos. Yang ia inginkan hanyalah saling memiliki satu sama lain tanpa ada persyaratan lainnya.

                         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SWEETBITTER / Prolog

  "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence," Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat. "Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya. "Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker. "Ditunda lagi?" "Hmmm..." "Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?" "Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal.  "Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu." "Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di...

Selamat Ulang Tahun, Mantan.

  Selamat ulang tahun untukmu mantan Sepotong masa lalu yang enggan dijadikan kenangan Secercah harapan yang lupus karena hati yang tulus Sebuah kotak berisi tawa dan tangisan Beserta dengan memori akan kepedihan Dilengkapi dengan ingatan yang pupus Tahun lalu masih dapat terucapkan Tahun lalunya lagi juga masih dapat kuungkapkan Namun sekarang, setelah ingatan itu hangus Setelah kamu pergi, terlupakan semua ucapan Beserta kenangan tawa, canda hingga kepedihan Tiada lagi harapan dan kenangan  Mereka telah pupus akibat hati nan tulus Selamat ulang tahun mantan Semoga hidupmu terisi dengan manisnya kenangan Tidak lagi penuh dengan harapan yang pupus.

Meja Resepsionis Hitam.

     Hotel Mulia, tepat pukul tiga di tengah bisingnya Ibukota Jakarta. Aku berdiri dengan cemas, meremas jahitan rok merahku berkali-kali. Sudah hampir tiga bulan ini, pekerjaanku sebagai komisaris berubah menjadi intelijen yang pandai menganalisis. Selalu berharap analisisku selama seperempat tahun ini salah, atau keliru, sayangnya semua harapan itu hilang tak berarah. Sebatas harapan palsu, tanpa ada kepastian yang nyata.      Hotel berbintang ini tidak jauh beda dari hotel lainnya. Yang membuat hotel ini beda adalah keindahan meja hitam tepat di depan pintu masuk. Aku menghampiri meja itu tentu bukan karena keindahannya. Namun, karena meja ini menjadi saksi, suamiku menggesekkan kartu kreditnya di mesin itu. Terletak tepat di atas meja. Resepsionis nampak tersenyum ramah kepadaku, ia seperti langsung bisa mengenaliku.  "Selamat Malam Bu, Ada yang bisa saya bantu?" Aku menoleh, tanpa sadar aku sudah melamun hampir setengah jam menatapi mesin kartu i...