Langsung ke konten utama

Gerbong Lima

 



       Hiruk pikuk kereta malam itu, penuh akan penumpang yang kelelahan. Sikutan dari tiap penumpang membuat Nadifa terpojok di sudut gerbong lima. Ia mengelap pelipisnya, udara pendingin sudah tidak terasa karena penuhnya kereta. Ia menghela nafasnya, tersenyum saat melihat satu tempat duduk di gerbong itu.

            'BRUK!'

                Buku yang dipeluk Nadifa jatuh, ia lantas meraihnya. 

                "Ini," Tangan seorang lelaki mengambil buku itu. Ia membantu Nadifa yang sibuk menunduk meraih bukunya.

                "Eh, terima kasih." ujarnya. Wajah Nadifa terkejut saat melihat lelaki itu.

                "Alvi?" tanya Nadifa memastikan, laki-laki itu hanya tersenyum.

                "Apa kabar? Masih kuliah di Jakarta?" tanya laki-laki bernama Alvian itu ternyata.

                "Masih Vi, hehe.." jawab Nadifa pelan.

                "Sini, berdiri deket gue aja. Bangkunya udah penuh semua." Alvian menarik lengan Nadifa pelan, menyuruhnya berpegangan di dekat Alvian. Nadifa mengikuti langkah Alvian. Berdiri tepat di sampingnya, seperti waktu mereka masih SMA.

                "Ngapain lo naik kereta? Setahu gue, lo masih tinggal di Bogor kan ya?" tanya Alvian.

                "Kan gue mau kuliah,"

                "Tapi, hari ini kan libur Nad," Mendengar panggilan 'Nad' membuat hati Nadifa terenyuh. Ia tersenyum kembali.

                "Gue ada urusan. Kebetulan kampus lagi ada acara, jadi gue harus bolak-balik ke kampus."

                "Ikut organisasi apa?" tebakan Alvian tepat, Nadifa memang anggota salah satu organisasi mahasiswa.

                "Himpunan Vian, hehe..." singkatnya.

                "Divisi apa?"

                "Humas," 

                Alvian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sembari ber-O ria. Nadifa tersenyum, melihat sepatu Alvian yang sudah berbeda, terlihat lebih bagus dari biasanya. Alvian memakai headsetnya, terlihat juga ponsel Alvian sudah berubah. Jauh lebih bagus dari sebelumnya. Nadifa tersenyum, berpikir mungkin Alvian mau membuka hatinya lagi untuk Nadifa.

            "Mau dengerin?" tanya Alvian seraya menawarkan headset sebelah kiri. Nadifa hanya menganggukkan kepalanya. Ia begitu menikmati hiruk-pikuk di gerbong lima malam itu. Meskipun, keramaian memenuhi sekitarnya, tapi ia merasa aman karena ada Alvian. Hampir empat tahun lamanya, Nadifa tidak melihat batang hidung Alvian. Setiap ada reuni SMA, Alvian selalu menghindar.

            'Sesaat lagi kereta akan sampai di stasiun Tebet, We'll be arrived at Tebet Station'

    Alvian melepas headsetnya, meminta headset sebelahnya dari Nadifa. Ia tersenyum lantas berkata,

            "Duluan ya Nad, hati-hati."

            "Kok lo turun disini?" tanya Nadifa, namun hanya dijawab dengan senyuman oleh Alvian meninggalkan banyak pertanyaan.

    Alvian berjalan saat kereta berhenti di Stasiun Tebet. Nadifa tersenyum ke arah Alvian.

           "Hati-hati  juga ya Vi," singkat Nadifa saat melihat Alvian berjalan menjauhi dirinya. Alvian hanya menganggukkan kepalanya. Nadifa kembali melihat rintikan hujan mulai meneteskan di antara kaca kereta. 

    'Dia kehujanan gak ya,' gumamnya pada diri sendiri. Nadifa memang terkejut melihat perubahan drastis Alvian semenjak terakhir empat tahun lalu mereka bertemu.

Beberapa minggu kemudian, Nadifa mengalami hal yang sama, ia harus kembali ke kampus di tengah-tengah tenggelamnya senja. Nadifa pun terburu-buru mengejar kereta. Kemudian, menuju gerbong lima. Ia menatap angka lima terpampang besar di dinding gerbong kereta. Teringat Alvian, terakhir mereka bertemu, mereka berdiri di dekat angka ini.

            "Lah, Nad?" suara tidak asing terdengar. Nadifa langsung tersenyum mendengar suara itu. Namun ternyata, Alvian tidak sendirian lagi. Ada seorang perempuan tidak asing berdiri di sampingnya. Perempuan itu betul-betul tidak asing.

            "Eh, Alvian." Ya Tuhan! Ia baru ingat, perempuan itu terkenal di sosial media karena parasnya yang cantik dan rupawan. Perempuan itu bahkan menjadi narasumber kampus Nadifa di semester kemarin. Ia salah satu None Jakarta tahun lalu. Nadifa baru ingat, ia hampir menganga melihat perempuan itu berdiri di samping Alvian.

            "Kak Nad?" tanya perempuan itu pelan.

            "Salsha ya?" tanya Nadifa memastikan. Perempuan itu hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.

            "Kalian saling kenal?" tanya Alvan.

            "Hari gini siapa yang gak kenal Salsha sih," singkat Nadifa, meskipun hatinya teriris perih.

            "Pacaran?" tanya Nadifa singkat. Mereka berdua tidak menjawab apa-apa, Alvian hanya mengangkat genggaman tangan mereka.

               "Ya ampun, udah berapa lama?" tanya Nadifa dengan pura-pura berwajah bahagia. 

               "3 tahun." singkat Salsha sembari tersenyum Nadifa terkejut. Nafas Nadifa terasa sesak tak karuan. Ia berusaha menahan. Senyuman palsu terukir di tengah senja menjemput malam, tepatnya di gerbong lima dengan rasa yang penuh penyesalan.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Kebaktian Usai.

Bartos menutup kafe, merogoh saku mencari kunci sepedanya. Berjalan keluar dari pintu kaca, disambut oleh hangatnya matahari sore. Marienna melintas tepat di depannya saat ia hendak berjalan menuju parkiran sepeda. Menghentikan langkah saat wangi parfum Marienna tercium dari kejauhan. Bartos menoleh ke arah sudut taman kota, Marienna sedang berjalan seraya tersenyum ke arahnya. Mengenakan baju terusan selutut jingga. Menggenggam tas jinjing kecil yang biasanya hanya berisi dompet kecil dan ponselnya. "Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda. "Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna. "Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba. "Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya. "Aku pergi duluan, salam untuk paman."...

SWEETBITTER / Prolog

  "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence," Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat. "Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya. "Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker. "Ditunda lagi?" "Hmmm..." "Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?" "Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal.  "Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu." "Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di...

Selamat Ulang Tahun, Mantan.

  Selamat ulang tahun untukmu mantan Sepotong masa lalu yang enggan dijadikan kenangan Secercah harapan yang lupus karena hati yang tulus Sebuah kotak berisi tawa dan tangisan Beserta dengan memori akan kepedihan Dilengkapi dengan ingatan yang pupus Tahun lalu masih dapat terucapkan Tahun lalunya lagi juga masih dapat kuungkapkan Namun sekarang, setelah ingatan itu hangus Setelah kamu pergi, terlupakan semua ucapan Beserta kenangan tawa, canda hingga kepedihan Tiada lagi harapan dan kenangan  Mereka telah pupus akibat hati nan tulus Selamat ulang tahun mantan Semoga hidupmu terisi dengan manisnya kenangan Tidak lagi penuh dengan harapan yang pupus.