Suara keras knalpot kendaraan, menghiasi kedatangan seorang perempuan. Turun melepas helm berkaca gelap, rambut panjang terurai menghiasi kemeja hitam yang ia kenakan. Lantas ia melangkah perlahan
melewati pintu kaca, kemudian menyapa segerombol anak muda yang duduk di meja panjang restoran. Terlihat sisa kulit ayam di piring mereka, karena katanya yang terbaik selalu
disimpan untuk nantinya. Akibat terlambat, Kathlyn tidak bisa menyisakan kulit
ayam seperti kawan-kawannya. Ia hanya menyeruput segelas soda. Itupun soda
milik temannya.
“Pangling euy lihat Kathlyn,”
Ia hanya dapat merespon pujian dengan
senyuman.
“Masih tinggal di Lembang?”
Kathlyn mengangguk.
“DIngin banget kan disana,” logat Jakarta terdengar
jelas dari mulut Maurin, teman sekelas Kathlyn.
Sesekali Kathlyn mengibaskan rambutnya yang
setengah pirang keungu-unguan. Kathlyn memperhatikan Wajah demi Wajah yang tak
asing dalam ingatannya. Ada wajah yang memandanginya dengan pandangan aneh, bak
seorang kucing yang tak pernah melihat mangsa atau ikan yang besar. Padahal
dahulu, rasanya enggan bagi mereka memperlakukan Kathlyn bak seorang manusia.
“Si Keenan mana atuh ya?” tanya Gina, wanita
yang sedang repot menggendong bayinya.
“Tuh, baru datang bareng Hilda,”
Keenan melambaikan tangannya, diikuti Hilda
dan Feyra yang berdiri tepat di belakangnya. Kawan-kawan pun ikut melambaikan
tangan mereka lantas menyapa.
“Kumaha Damang?” sapa Deka, teman
karib Keenan saat duduk di bangku kelas tiga SMA dahulu.
“Baik atuh,”
“Kangen banget euy cabut kelas terus
jajan bareng akang tampan ini,” ledek Deka sambal menepuk pundak Keenan dengan
pelan. Keenan Hanya tersenyum.
Kathlyn yang sedang sibuk berbincang dengan
Yita, teman dekat sekaligus teman sebangkunya di Tahun terakhir waktu ia masih
duduk di bangku SMA.
“Terakhir kita ketemu kapan ya Ta,”
“5 tahun lalu Lyn, pas kamu masih sama si itu,”
Kathlyn tertawa karena Yita sampai tak berani menyebutkan nama mantan pacarnya.
“Masih inget aja,”
“Masih lah, kamu sampe nginep di rumah aku
seminggu gara-gara doi,” Kathlyn dan Yita termasuk dua wanita yang hidupnya
sekarang sebagian besar di Jakarta, akibatnya logat Bandung mereka hilang tanpa
suara.
Kathlyn tersenyum. Ia menyeruput sodanya
lagi. Ia baru sadar, orang yang duduk di depannya nampak tak asing. Kathlyn
melirik ke arah gelang yang ia pakai.
‘Ah, shit.’
Keenan duduk tepat di depannya. Sebetulnya,
Kathlyn tidak memiliki masalah yang begitu serius dengan Keenan, tetapi ia hanya
malas jika teman-teman sekelasnya saat ini akan meledek mereka berdua seperti waktu
mereka masih duduk di bangku SMA. Keenan memberikan tatapan berbeda saat itu.
Mungkin karena ia hampir tak mengenali sosok di depannya. Feyra duduk Disamping
Kathlyn, hampir tak mengenali Kathlyn jua.
“Kathlyn?”
Kathlyn tersenyum ke arah Feyra.
“Sumpah gue pangling banget,”
“Gua baru mau nanya sebelah lo siapa Ra,” timpal
Hilda.
Kathlyn Hanya tersenyum.
“Gue pikir dia temannya Yita,” timpal
Keenan yang menatap Kathlyn dengan serius.
Hilda dan Feyra tanpa bersuara langsung
tertawa, menertawakan Wajah Keenan yang kebingungan.
Kathlyn tersenyum paksa, saat mendengar
suara tawa mereka. Situasi menjadi dingin saat senyuman palsu Kathlyn mendarat di wajahnya. Keenan,
Hilda dan Feyra terdiam sesaat. Kathlyn memang terlihat hangat, namun ia mampu
membuat hatinya dingin dalam sesaat. Kathlyn mulai merasa kurang nyaman berada
di dekat mereka, ia merogoh kantungnya, kemudian berjalan keluar.
“Dia ngerokok Ta?” tanya Hilda.
Yita hanya menganggukkan kepalanya.
---
Kathlyn menyelipkan sebatang Marlboro di
bibir indahnya. Bersandar pada pintu kaca, tidak perduli banyak pasang mata
yang memperhatikan asap yang mengebul di depan wajah polos dan cantiknya. Kathlyn
menundukkan kepalanya, memandangi sepasang sepatu boots yang ia kenakan. Sepatu
itu sangat tidak nyaman, rasanya bodoh sekali ia harus memakai sepatu itu di
cuaca sepanas ini. Ia berharap hujan tiba dalam waktu dekat. Kathlyn juga
sesekali menyentuh kukunya yang dihias warna-warni, betul-betul bukan ciri khas
dirinya yang tidak menyukai warna kontras seperti ini. Tetapi, ia tak punya
kuasa, lagipula ini bentuk pengorbanan untuk mewujudkan mimpinya.
“Sejak kapan lo ngerokok?”
Kathlyn menoleh ke arah pintu keluar. Terlihat
Keenan berjalan ke arahnya.
“Gak inget,” singkat Kathlyn sembari
mengisap rokoknya.
“Bisa-bisanya lo nggak inget kapan lo mulai
ngisep barang itu,”
Kathlyn terkekeh, menginjak-injakkan rumput
liar dengan sepatu boots tingginya.
“Pertama kali selama 5 tahun kita reuni, baru kali ini lo
ikut reuni. Nggak mungkin rasanya kalau nggak ada sesuatu yang bakalan terjadi.
Pasti lo ikut reuni karena ada sesuatu yang lo pengen sampein kan?”
Kathlyn mengangguk.
“Bingo.” Jawab Kathlyn singkat,
masih menginjak-injakkan pelan rumput liar tadi.
Keenan ikut menyelipkan sebatang rokok di
bibirnya. Asap mengembul di depan wajah tampannya. Kathlyn menguncir rambutnya.
Keenan seakan-akan terhipnotis setiap melihat gemulai gerakan tangan Kathlyn. Keenan
menatapnya lekat-lekat, mendekatkan tubuhnya pada kehangatan Kathlyn dengan
aroma vanilla khas dirinya. Aroma yang tidak berubah sejak SMA. Gairah Keenan
tiba-tiba berubah seketika ingin sekali saja dalam hidupnya untuk merasakan
lembutnya bibir Kathlyn. Ia seperti kehilangan kewarasan saat berada di dekat
Kathlyn. Ia selalu ingin memiliki Kathlyn.
“I knew you like me,”
Perkataan Kathlyn seketika membuat Keenan
terkejut. Ia hampir menjatuhkan sebatang rokok yang terselip di bibirnya.
“Admit it, Nan.” Timpal Kathlyn.
Keenan menundukkan kepalanya.
“Sejak gue belum jadi cewek berandalan
kayak gini sekarang, waktu gue masih berjilbab pas SMA, lo udah suka sama gue
kan? Semenjak kita sahabatan di hari pertama masa orientasi sekolah?”
Wajah Kathlyn terlihat serius membicarakan
hal itu, membuat Keenan seketika bingung bagaimana meresponnya. Keenan menghela
nafasnya, membuang sepuntung rokok di tangannya. Kathlyn ikut membuang sebatang
rokok yang ia isap tadi.
“Akuin perasaan lo Nan,” pinta Kathlyn yang
sekarang berdiri jelas di depan Keenan. Keringat terlihat mengalir dari pelipis
Keenan.
“So that, you could forget me,” jelas
Kathlyn.
Keenan gelisah. Mata Keenan terlihat
berpindah Memandang kesana kemari, hingga berakhir menatap mata indah Kathlyn.
Di bawah teriknya sinar matahari yang mulai tertutupi awan gelap. Langit
abu-abu mulai menutupi peristiwa naas itu.
“Mumpung nggak ada siapapun selain kita
berdua disini,” tukas Kathlyn, berusaha meyakinkan Keenan.
Keenan menghela nafasnya sekali lagi.
Menatap Kathlyn yang semakin dekat dengannya. Tangannya gemetar. Baru pertama
kali setelah sekian lama, Kathlyn Kembali berada di dekat Keenan. Senyuman
pahit muncul di wajah Kathlyn, ia muak dengan sikap Keenan yang seakan-akan
membenci Kathlyn setelah sekian lama. Padahal, Kathlyn tahu jelas bagaimana
Keenan yang sebenarnya. Kathlyn melangkah pergi meninggalkan Keenan.
“Tunggu,”
Tangan Keenan yang basah akan keringat,
menahan tangan hangat Kathlyn.
“Gue mau ngomong,”
Kathlyn beranjak kembali Berdiri di
depannya. Berusaha mendengarkan sepatah demi patah kata yang akan diucapkan
Keenan dengan seksama.
“Pertama, gue mau nanya dulu sama lo,” ujar
Keenan.
“Apa?”
“Kenapa setiap Feyra nelfon lo, lo nggak
pernah mau angkat lagi?”
“Karena, kalian bukan siapa-siapa gua lagi.”
Ucapan tajam Kathlyn cukup membuat Keenan terkejut. Ia terdiam sejenak.
“Oke. Kalau lo nganggep mereka gitu, nggak
masalah buat gue.”
Kathlyn mengangguk pelan pertanda mengerti.
“Tapi, yang mau nelfon lo itu, bukan kemauan
Feyra sepenuhnya. Gue yang pura-pura iseng minta dia nelfon lo, gangguin lo,
atau sekedar ngatain lo. Karena gue pingin tahu kabar lo,”
Kathlyn terkekeh sambal menggelengkan
kepala.
“Ya, gue tahu itu.” Respon Kathlyn kembali membuat
Keenan terkejut.
“Okay, I admit it. I like you since day
one. Sejak pertama kali kita janjian untuk sahabatan sampe nikah dan nggak
saling suka. Awalnya, gue pikir bakalan oke-oke aja buat gue nyembunyiin semua perasaan
gue. Tapi, Ternyata gue salah. Perasaan gue semakin dalam dan membabi buta. Gue
nggak tahu mesti gimana, pas gue tahu lo pacaran sama kakak kelas waktu itu. Habis
lo putus, gue pingin deketin lo, tapi lo malah ngejauhin gue. Akhirnya gue
mutusin buat ngelampiasin perasaan dan kekesalan gue ke Tata. Dia bahkan tau
gue sayang banget sama lo Lyn… Gue selalu ngejek dan ngeledek lo karena gue nggak
tahu harus berbuat apa buat deketin lo. Gue selalu benci diri gue sendiri
karena perasaan gue sendiri buat lo… Sayangnya, lo emang kayak bintang yang
nggak bakalan bisa gue gapai, karena lo terlalu jauh untuk diambil, gue hanya bisa
lihat lo dari jauh aja. Pas gue tahu lo ikutan audisi buat jadi idol di Korea,
gue pengen gila rasanya. Karena lo semakin jauh dari genggaman gue. Dan gue
semakin tahu diri kalo gue nggak akan
pernah bisa dapetin hati lo,”
Kathlyn tertawa kecil mendengarkan curahan
hati Keenan di depannya. Ia mampu mendengarkan suara Keenan setengah bergetar saat
menyatakan seluruh perasaannya.
“Kenapa nggak dari dulu lo ngomong kayak
gini ke gue?”
“Lyn, lo gila? Dulu lo pake jilbab, gue
pake kalung salib. Gue udah tahu kalau kita nggak bakalan jadi satu. Kita
bakalan selalu jadi dua, karena kepercayaan kita berbeda.
“Emang lo nggak penasaran gimana perasaan
gue dulu waktu gue tahu lo jadian sama Tata?”
Mata Keenan membesar, menatap Wajah Kathlyn
yang serius bertanya di hadapannya.
“Gue mau gila rasanya pas tahu lo jadian
sama Tata. Meskipun gue punya pacar juga waktu itu, tapi gue nggak perduli. Gue
selalu berusaha supaya Tata nggak bisa menginjakkan kaki di kelas kita. Gue
sampe benci setiap hari senin lihat Tata gantiin gue buat makein lo dasi
sebelum upacara bendera.” Jelas Kathlyn.
Keenan kehabisan kata-kata. Ia langsung
memeluk Kathlyn dengan erat, tanpa perduli Hilda dan Feyra menyusulnya kemudian
kelihat kejadian itu. Keenan menangis untuk pertama kalinya. Kathlyn hanya bisa
diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Hilda, Feyra dan teman sekelas generasi
dua ribuan yang memperhatikan mereka berdua. Hanya bisa terkejut melihat peristiwa
itu terjadi di balik kaca restoran siap saji. Kathlyn melepas perlahan pelukan
erat dari Keenan. Ia menghela nafasnya.
“Lyn, gue nggak bisa dapet kesempatan
kedua?” tanya Keenan pelan.
“Kesempatan pertama waktu kita SMA aja
nggak lo ambil, gimana ceritanya bisa ada kesempatan kedua?” ketus Kathlyn.
“Sekarang, gue nggak ada rasa sama lo
sedikit pun Nan. Karena perasaan gue keburu mati akibat Semua perlakuan jahat
lo yang gue benci. Gue ngelakuin ini, supaya lo lega. Dan lo mampu melepas gue
sepenuhnya.” Jelas Kathlyn sekali lagi.
Keenan hanya mampu menatap wajah indah
Kathlyn yang bahkan ia tak bisa sentuh. Bodoh memang, menyembunyikan perasaan
di umur dua puluhan, sebagai generasi millennial dua ribuan.
“Lega kan?” Tanya Kathlyn pada Keenan. Ia
hanya mampu menjawab Kathlyn dengan anggukan.
Kathlyn berjalan kembali masuk ke dalam restoran,
tak acuh pada Hilda dan Feyra yang Berdiri mematung di depan pintu restoran.
Kathlyn kembali menggerai rambutnya yang pirang keunguan. Kemudian merapikannya
saat ia sudah duduk manis di depan meja panjang restoran. Tak lama, Keenan pun
ikut duduk kembali di depan Kathlyn. Perhatian tak luput dari mereka berdua. Namun,
tiada satu pun yang berani bersuara. Hingga akhirnya Yita berdiri, lantas berkata,
“Guys, Kathlyn mau ngomong sesuatu,”
Kathlyn pun berdiri, membetulkan posisinya berdiri
menghadapi ke arah seluruh teman sekelasnya.
“Halo, guys. Pasti kalian pada heran kenapa
gue ikut reunian generasi dua ribuan hari ini. Padahal, gue jarang muncul.”
“Gue punya pengumuman penting buat kalian.
Minggu depan gue udah debut resmi sebagai idol di Korea. Dan tentunya,
otomatis gue akan pindah dan menjadi warga negara disana. Gue dateng hari ini
karena mungkin aja ini kali pertama dan terakhir gue ikut reuni. Gue mau minta
maaf kalau punya banyak salah sama kalian, dan selalu bikin kalian nggak nyaman
waktu masih satu kelas dulu. Gue harap kalian semua mau maafin kesalahan gue,
dan gue mohon doanya supaya debut gue sukses nantinya.Gue juga berdoa semoga
kalian sukses selalu ya. Gue pamit ya guys, by the way gue langsung cabut
duluan yaa, karena mau ke kantor imigrasi, ngurus administrasi kepindahan gue
kesana.”
Pernyataan Kathlyn didengar seksama oleh
seluruh teman kelasnya. Ia membungkukkan
badannya karena ia akan resmi menjadi warga negara Korea. Memberikan salam
terakhir khas warga negara disana. Keenan memberikan respon yang berbeda. Ia
menyambar helm dan tasnya dengan kasar, kemudian berjalan keluar restoran tanpa
sepatah kata. Suasana menjadi semakin hening. Kathlyn pun bangun, menatap
Keenan lewat jendela. Keheningan itu terpecah saat terdengar suara isak tangis
dari luar restoran menggema.
Komentar
Posting Komentar