Langsung ke konten utama

SWEETBITTER / Prolog


 "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence,"

Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat.

"Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya.

"Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker.

"Ditunda lagi?"

"Hmmm..."

"Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?"

"Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal. 

"Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu."

"Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di tengah-tengah keramaian. Nampak seorang perempuan duduk disana, tak asing dalam benaknya.

"Astaga, Yuqi?"

Perempuan bermata sipit yang juga mengenakan penutup mulut itu terlihat tersenyum.

"Lucas? Apa yang kamu lakukan disini? Mengapa kamu bisa berada di LA sendiri?"

"Bosan, jadi aku iseng saja bermain kesini."

"Sudah makan?"

Lucas menggeleng.

"Pesanlah, aku yang bayar."

Lucas tersneyum lebar ia memang sangat menyukai makanan. Apalagi jika didapatkan secara cuma-cuma.

"Excuse me!" Yuqi tampak sedang memanggil waitress yang berdiri di dekat barista kopu.

"Can I have some Margherita Spaghetti and Iced Americano?" pinta Yuqi dengan aksen korea yang tidak bisa lepas dari dialeknya.

Pelayan itu hanya menganggukkan kepala. 

"Kamu sudah memilih?"

Lucas malah terdiam ke arah pelayan perempuan itu, tubuhnya yang proporsional, kulitnya yang putih, kaki yang panjang. Tnggi perempuan itu hampir setinggi Lucas. Bahkan pelayan itu jauh lebih tinggi ketimbang Yuqi yang merupakan seorang bintang kpop. Matanya tampak bersinar, ia padahal tidak memakai lensa kontak, tapi matanya jauh lebih indah dari lensa kontak itu sendiri.

"Hei! Kau mau pesan apa bodoh?" 

"Eh a-a..aku mau Americano dan Spaghetti juga," jelasnya.

"Yuqi kau tahu betul kalau aku tidak bisa bahasa Inggris kan?"

Yuqi tertawa.

"Make those menu for two person please," jelas Yuqi pada pelayan itu. Ia hanya menganggukkan kepala. Kemudian pergi tanpa sepatah kata, sedangkan pandangan Lucas masih tak mampu lepas dari gadis itu. Tanpa mereka sadari sebuah kamera sedang memotret mereka. Perempuan itu berjalan ke arah lensa yang sedang asyik memotret mereka berdua.

"HEY! GIVE IT BACK TO ME!"

Terlihat pelayan itu merebut kamera yang dipegang seseorang nan terlihat mencurigakan. Ia merebutnya dengan cukup kasar, sampai-sampai pemilik kamera itu terlihat terkejut. Yuqi dan Lucas yang sedang menikmati makanan mereka, berhenti mengunyah seketika.

"You already breaking our rules sir, I am apologize for it, but taking a picture of our guest without any permission are forbidden. Thank you." ketus pelayan itu kemudian mengembalikan kamera yang tadi ia rebut. Lucas terlihat begitu terkejut, ternyata betul aada Ssaeng yang mengikutinya. Pelayan itu masuk kembali ke dalam. Yuqi dan Lucas lanjut kembali menikmati makanan mereka.

"Gadis itu keren sekali," ujar Lucas sembari menyeruput Iced Americano miliknya.

"Ah, bilang saja kau tertarik kepadanya,"

"Bukan begitu," ledek Yuqi sembari menyenggol pundak Lucas pelan.

"Kau selalu begitu Lucas,"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[ENG] Rain and Grey.

It was raining. I am drowning in the time past, happening, looking, and searching for something that I didn't even know about anything. Spread into the darkness, growing like happiness, end it with sadness. I don't know. It's just so many things I had to tell about her, but I can't. Can't even look into her eyes, cause I'm too nervous. But also curious, who is she? And why does she follow me like a ghost, she appears around me. Anywhere, everywhere. Or, does it just memories that I can't tell? "Hey, can I have some Americano, please," Damn. She's here. "Oh, sure." My hands were shaking, my heart was beating, I cannot even stop that beat. What is wrong with me? We're not Rangga and Cinta who are trapped in complicated love. We're just strangers, which we didn't know each other. "One Americano, anything else to order miss?" "Just call me N," "Can I?" "You should." "Why?" ...

Meja Resepsionis Hitam.

     Hotel Mulia, tepat pukul tiga di tengah bisingnya Ibukota Jakarta. Aku berdiri dengan cemas, meremas jahitan rok merahku berkali-kali. Sudah hampir tiga bulan ini, pekerjaanku sebagai komisaris berubah menjadi intelijen yang pandai menganalisis. Selalu berharap analisisku selama seperempat tahun ini salah, atau keliru, sayangnya semua harapan itu hilang tak berarah. Sebatas harapan palsu, tanpa ada kepastian yang nyata.      Hotel berbintang ini tidak jauh beda dari hotel lainnya. Yang membuat hotel ini beda adalah keindahan meja hitam tepat di depan pintu masuk. Aku menghampiri meja itu tentu bukan karena keindahannya. Namun, karena meja ini menjadi saksi, suamiku menggesekkan kartu kreditnya di mesin itu. Terletak tepat di atas meja. Resepsionis nampak tersenyum ramah kepadaku, ia seperti langsung bisa mengenaliku.  "Selamat Malam Bu, Ada yang bisa saya bantu?" Aku menoleh, tanpa sadar aku sudah melamun hampir setengah jam menatapi mesin kartu i...

Reunian Dua Ribuan

                   Suara keras knalpot kendaraan, menghiasi kedatangan seorang perempuan. Turun melepas helm berkaca gelap, rambut panjang terurai menghiasi kemeja hitam yang ia kenakan. Lantas ia melangkah perlahan melewati pintu kaca, kemudian menyapa segerombol anak muda yang duduk di meja panjang restoran. Terlihat sisa kulit ayam di piring mereka, karena katanya yang terbaik selalu disimpan untuk nantinya. Akibat terlambat, Kathlyn tidak bisa menyisakan kulit ayam seperti kawan-kawannya. Ia hanya menyeruput segelas soda. Itupun soda milik temannya. “Pangling euy lihat Kathlyn,” Ia hanya dapat merespon pujian dengan senyuman. “Masih tinggal di Lembang?” Kathlyn mengangguk. “DIngin banget kan disana,” logat Jakarta terdengar jelas dari mulut Maurin, teman sekelas Kathlyn. Sesekali Kathlyn mengibaskan rambutnya yang setengah pirang keungu-unguan. Kathlyn memperhatikan Wajah demi Wajah yang ...