“Fi! Cepetan dong gue udah telat nih!”
Rafi sibuk mengikat tali sepatunya,
langkahnya terhenti di basement dekat parkiran motor.
“Makanya kan gue udah bilang, lo tuh
gausah banyak gaya, sepatu sekolah aja dipakein tali segala!”
“Kan emang peraturannya gitu da,”
Hilda merengut, menghentak-hentakkan
kakinya pertanda kesal terhadap Rafi.
“Udah deh cepetan Fi! Lo tuh lemot banget
sih jadi cowok!”
Hilda berjalan mendahului Rafi yang masih
sibuk mengikat tali sepatunya. Mengejar Hilda kemudian setelah sepatunya
terikat dengan aman. Rafi merampas helm dari tangan Hilda, memakaikan helm itu ke
kepala perempuan yang tingginya tak begitu jauh darinya.
“Fi! Gue bukan anak kecil, udah cepetan!”
Rafi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
pertanda kesal. Seorang introvert yang tidak pernah marah sekalipun pada Hilda.
Yang ia lakukan hanya menuruti apapun yang Hilda katakan dan inginkan. Rafi
bisa berjalan sejauh apapun demi menghampiri Hilda yang tersesat di jalanan.
“Udah? Ayo,” singkat Rafi yang hanya
menatap ke arah wajah sebal Hilda.
“Fi, pokoknya kalo lo masih suka telat
gini, gue mau bawa motor sendiri!”
Rafi tidak menjawab apa-apa hanya sekedar
melihatnya sebentar dari kaca spion sebelah kanan. Melihat Hilda yang sedang
merapikan rambutnya, memakai bandana dan merapikan riasannya. Apa yang ada di
pikiran kalian? Pasti kalian berpikir mereka pacaran, oh tidak kalian salah
besar. Hilda adalah kakak kelas Rafi, mereka bahkan beda sekolah. Tapi, Rafi
tidak segan mengantar Hilda ke sekolahnya yang berada di daerah Jakarta
Selatan, padahal sekolah Rafi berada di Tangerang. Sejauh itu, makanya mereka
harus berangkat saat matahari belum menerpa fajar.
Hilda sudah duduk di bangku kelas tiga,
Rafi masih duduk di bangku kelas satu. Anak baru yang tampan, pendiam dan
introvert habis-habisan. Ia tidak pernah berbicara kepada perempuan manapun kecuali
Hilda. Itu pun karena mereka berdua tetangga, bertemu di minimarket dan Rafi
pun jatuh hati pada Hilda. Kata Rafi, aku tidak boleh memberitahu Hilda soal
ini, karena ini rahasia. Kalian bisa jaga rahasia bukan?
“Makasih!” ujar Hilda turun dari motor
sembari membereskan dasi.
“Ya,”
Hilda berkacak pinggang di depan Rafi,
menatapnya lekat-lekat. Rafi paling lemah soal ini, ia pasti langsung tidak
bisa diam seketika.
“Rafi kalau orang bilang makasih jawabnya apa?”
“Sama-sama”
“Pinter! Yaudah hati-hati di jalan, jangan
pacaran!” pesan Hilda bercanda, yang dibawa perasaan oleh Rafi tanpa ia
ketahui. Bodoh sekali kau Hilda. Dari kejauhan, Rafi melihat Hilda yang memakai
rok abu-abu span, dengan rambut panjang yang sudah ia gerai. Bertegur sapa
dengan teman-temannya. Untung saja, Hilda baru putus waktu bertemu Rafi, ia
tidak perlu melihat hal-hal yang bisa menyakiti perasaan dan hatinya sendiri.
Ia hanya perlu menjaga Hilda untuk selalu berada di sampingnya. Rafi pun melanjutkan
perjalanan. Memikirkan bagaimana ke depannya ia dan Hilda. Apakah akan selalu
bersahabat saja? Atau ia mampu melewati batasan itu?
Sekedar menyapa say hi dulu saja ia
tidak bisa, apalagi menyatakan perasaannya? Mustahil, pikirnya. Rafi menatap
birunya langit, terbayang wajah Hilda yang selalu tersenyum, tertawa dan
membuat ia nyaman berada di dekatnya. Meskipun, harus menahan kesaltingan yang
ada. Ia harus tetap stay cool jika berada di sekitar Hilda. Sejujurnya,
Rafi tahu sepertinya Hilda juga suka dengannya. Dari dulu, mata Hilda selalu
tertangkap memperhatikannya diam-diam saat ia sedang berada di depan teras rumahnya,
memetikkan gitar dan menyanyikan lagu Lost Stars kesukaannya. Hilda,
pasti memiliki perasaan kepadanya. Pikirnya begitu, kacau balau jika tidak.
Hancur, musnah sudah alam yang ia bangun akan semesta Hilda.
Tetapi,
Rafi bisa berkata apa, jika Tuhan berkata Hilda tidak bisa selalu berada di
sampingnya? Ujian Penerimaan Perguruan Tinggi semakin mendekati waktu, waktu
yang paling ditakutkan oleh Rafi. Karena, Hilda pasti akan lulus. Ia akan fokus
terhadap studinya. Tidak ada lagi susu ultra cokelat yang mereka selalu beli
bersama-sama. Bercengkrama, atau lebih tepatnya Hilda saja yang bercerita. Rafi
sibuk mendengarkannya saja.
“Assalammualaikum!! Rafii!” teriakan Hilda
membuat Ibu Rafi keluar, ia menatap Hilda dengan bingung.
“Ada apa Nak?”
“Tantee! Aku mau ngabarin ke Rafi, besok
aku berangkat ke New York!! Aku keterima disana!!”
Ibu Rafi yang sedari tadi tersenyum, lengkung
sabit itu menghilang seketika. IA bergegas masuk menghampiri Rafi yang sedang
bersama gitarnya.
“Bilang aja Bu, Rafi lagi pergi,”
“Kamu nggak mau ketemu dia, Nak?”
Rafi hanya menggelengkan kepalanya. Ibu
Rafi pun keluar dengan wajah masam, Hilda mengerti tanpa harus dijelaskan. Ia
pergi dengan meninggalkan secarik kertas.
“Titip ini untuk Rafi ya Bu…”
Ibu hanya mengangguk-anggukkan kepala
pertanda mengerti maksud Hilda. Saat ia masuk ke kamar Rafi, terlihat Rafi sedang
mengalunkan gitarnya dengan pelan.
“Nak, ini ada titipan…”
Rafi menatap wajah Ibunya dengan wajah
melas. Air mata rasanya ingin jatuh ke bumi dengan deras. Ia takkan bisa melihat
Hilda, dari kejauhan maupun dekat. Ia harus menyelesaikannya. Ia harus menyudahi
perasaan seluruhnya. Rafi membuka secarik kertas itu, tertulis di bagian
terlipat paling depan : Rafi pinter bahasa inggris, aku gabisa ngomong ini
kalo pake bahasa kita.
Rafi pun tersenyum. Ia membuka lipatan
surat itu pelan-pelan,
Hi,
Fi. It’s been many years we’ve through it together. Since I was broke up with
my ex. You always be there for me. Take care of me, even though I know it’s
hard for you to talk. I did realllyyyyy understand that you are an introvert.
Sometimes, I felt tired when many girls staring at me, while you were staring
at me. They’re jealous, isn’t it? Being together with you, it’s the most
precious things for me now. First time we’ve met, I’ve told you. You have
something to say, to me? Doesn’t it? You just to ashamed to say it, or scared,
or frightened, or you might just want to keep it up for yourself. And that’s
okay. You just wanna say hi don’t you? You just want to know me better as a
woman, not as a friend. You want me as your girl, not just as a friend. I knew
it Fi, since the day we first met.
I
just wanna say thank you for everything, and do you want to know something
interesting? I thought you might couldn’t having a nice dream tonight, if I saying
it. I did like you too. Until now, I know you were tired. Or you might would
tired of me. I do scare of it, I scared of losing you. That is why, I don’t say
hi to you too. I’m too scared of losing you, as I lose many people around me
before I met you. Hi Rafi, I like you.
Epilog
"Rafi! Someone is looking for you!"
Rafi menengadah ke arah pintu kedai kopi. Bahagia Coffee, berdiri sendiri di tengah-tengah kota New York.
"Hi,"
"Da?"
"How do you do?"
Komentar
Posting Komentar