Langsung ke konten utama

Postingan

[ENG] Rain and Grey.

It was raining. I am drowning in the time past, happening, looking, and searching for something that I didn't even know about anything. Spread into the darkness, growing like happiness, end it with sadness. I don't know. It's just so many things I had to tell about her, but I can't. Can't even look into her eyes, cause I'm too nervous. But also curious, who is she? And why does she follow me like a ghost, she appears around me. Anywhere, everywhere. Or, does it just memories that I can't tell? "Hey, can I have some Americano, please," Damn. She's here. "Oh, sure." My hands were shaking, my heart was beating, I cannot even stop that beat. What is wrong with me? We're not Rangga and Cinta who are trapped in complicated love. We're just strangers, which we didn't know each other. "One Americano, anything else to order miss?" "Just call me N," "Can I?" "You should." "Why?" &quo

Hi,

  “Fi! Cepetan dong gue udah telat nih!” Rafi sibuk mengikat tali sepatunya, langkahnya terhenti di basement dekat parkiran motor. “Makanya kan gue udah bilang, lo tuh gausah banyak gaya, sepatu sekolah aja dipakein tali segala!” “Kan emang peraturannya gitu da,” Hilda merengut, menghentak-hentakkan kakinya pertanda kesal terhadap Rafi. “Udah deh cepetan Fi! Lo tuh lemot banget sih jadi cowok!” Hilda berjalan mendahului Rafi yang masih sibuk mengikat tali sepatunya. Mengejar Hilda kemudian setelah sepatunya terikat dengan aman. Rafi merampas helm dari tangan Hilda, memakaikan helm itu ke kepala perempuan yang tingginya tak begitu jauh darinya. “Fi! Gue bukan anak kecil, udah cepetan!” Rafi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda kesal. Seorang introvert yang tidak pernah marah sekalipun pada Hilda. Yang ia lakukan hanya menuruti apapun yang Hilda katakan dan inginkan. Rafi bisa berjalan sejauh apapun demi menghampiri Hilda yang tersesat di jalanan. “Udah? Ayo,

SWEETBITTER / Prolog

  "The Flight to Incheon Airport will be delayed caused by turbulence," Seoang laki-laki berwajah tampan dan berkaki paanjang menghela nafas panjang. Penerbangan pulang harus kembali ditunda untuk ketiga kalinya. Ia mendengus kemudian berjalan ke arah kafe terdekat. "Lucas, kamu dimana?" suara dari jauh sana menyapa dirinya. "Masih di Los Angeles," singkatnya, sembari menoleh kesana kemari, berharap agar tidak ada yang mengenali dirinya mengenakan masker. "Ditunda lagi?" "Hmmm..." "Baik, aakan kuusahakan kau berangkat ke Incheon sore ini, tapi kau harus bersabar. Jangan sampai ada Sssaeng mengikutimu dari belakang. Tetap waspada, kau sendirian bukan?" "Hmmm..." suara beratnya terdengar kesal.  "Sabar bro, sampai disini kau bebas menikmati makanan Thailand yang kau sukai itu." "Yaa.." jawabnya dengan nada malas, kemudian ia memutuskan untuk duduk di kafe yang cukup ramai, namun ada tempat kosong di

Reunian Dua Ribuan

                   Suara keras knalpot kendaraan, menghiasi kedatangan seorang perempuan. Turun melepas helm berkaca gelap, rambut panjang terurai menghiasi kemeja hitam yang ia kenakan. Lantas ia melangkah perlahan melewati pintu kaca, kemudian menyapa segerombol anak muda yang duduk di meja panjang restoran. Terlihat sisa kulit ayam di piring mereka, karena katanya yang terbaik selalu disimpan untuk nantinya. Akibat terlambat, Kathlyn tidak bisa menyisakan kulit ayam seperti kawan-kawannya. Ia hanya menyeruput segelas soda. Itupun soda milik temannya. “Pangling euy lihat Kathlyn,” Ia hanya dapat merespon pujian dengan senyuman. “Masih tinggal di Lembang?” Kathlyn mengangguk. “DIngin banget kan disana,” logat Jakarta terdengar jelas dari mulut Maurin, teman sekelas Kathlyn. Sesekali Kathlyn mengibaskan rambutnya yang setengah pirang keungu-unguan. Kathlyn memperhatikan Wajah demi Wajah yang tak asing dalam ingatannya. Ada wajah yang memandanginya dengan pandangan aneh,

Meja Resepsionis Hitam.

     Hotel Mulia, tepat pukul tiga di tengah bisingnya Ibukota Jakarta. Aku berdiri dengan cemas, meremas jahitan rok merahku berkali-kali. Sudah hampir tiga bulan ini, pekerjaanku sebagai komisaris berubah menjadi intelijen yang pandai menganalisis. Selalu berharap analisisku selama seperempat tahun ini salah, atau keliru, sayangnya semua harapan itu hilang tak berarah. Sebatas harapan palsu, tanpa ada kepastian yang nyata.      Hotel berbintang ini tidak jauh beda dari hotel lainnya. Yang membuat hotel ini beda adalah keindahan meja hitam tepat di depan pintu masuk. Aku menghampiri meja itu tentu bukan karena keindahannya. Namun, karena meja ini menjadi saksi, suamiku menggesekkan kartu kreditnya di mesin itu. Terletak tepat di atas meja. Resepsionis nampak tersenyum ramah kepadaku, ia seperti langsung bisa mengenaliku.  "Selamat Malam Bu, Ada yang bisa saya bantu?" Aku menoleh, tanpa sadar aku sudah melamun hampir setengah jam menatapi mesin kartu itu. "Malam mas, say

Gerbong Lima

             Hiruk pikuk kereta malam itu, penuh akan penumpang yang kelelahan. Sikutan dari tiap penumpang membuat Nadifa terpojok di sudut gerbong lima. Ia mengelap pelipisnya, udara pendingin sudah tidak terasa karena penuhnya kereta. Ia menghela nafasnya, tersenyum saat melihat satu tempat duduk di gerbong itu.             'BRUK!'                    Buku yang dipeluk Nadifa jatuh, ia lantas meraihnya.                     "Ini," Tangan seorang lelaki mengambil buku itu. Ia membantu Nadifa yang sibuk menunduk meraih bukunya.                    "Eh, terima kasih."  ujarnya. Wajah Nadifa terkejut saat melihat lelaki itu.                    "Alvi?" tanya Nadifa memastikan, laki-laki itu hanya tersenyum.                    "Apa kabar? Masih kuliah di Jakarta?" tanya laki-laki bernama Alvian itu ternyata.                    "Masih Vi, hehe.." jawab Nadifa pelan.                    "Sini, berdiri deket gue aja. Bangkunya udah p

Setelah Kebaktian Usai.

Bartos menutup kafe, merogoh saku mencari kunci sepedanya. Berjalan keluar dari pintu kaca, disambut oleh hangatnya matahari sore. Marienna melintas tepat di depannya saat ia hendak berjalan menuju parkiran sepeda. Menghentikan langkah saat wangi parfum Marienna tercium dari kejauhan. Bartos menoleh ke arah sudut taman kota, Marienna sedang berjalan seraya tersenyum ke arahnya. Mengenakan baju terusan selutut jingga. Menggenggam tas jinjing kecil yang biasanya hanya berisi dompet kecil dan ponselnya. "Habis gereja?" tanya singkat Bartos sambil membuka kunci sepeda. "Iya, baru saja selesai." Bartos tersenyum seraya memakai helm sepedanya. Menaiki sadel sepeda lantas menoleh lagi ke arah Marienna. "Natal sudah hampir datang lagi ya?" Tanya Bartos dengan sedikit kecanggungan yang menusuk dirinya tiba-tiba. "Sudah, baru saja tadi persiapan dengan paman." ujar Marienna sembari merapihkan rambut ikalnya. "Aku pergi duluan, salam untuk paman."